Di rak paling bawah, di kamar yang tak terlalu besar, terselip sebuah buku dengan sampul lusuh: Yang Tak Pernah Selesai. Judulnya aneh, seperti ditulis oleh seseorang yang menyerah separuh jalan. Sampulnya krem, huruf-hurufnya sedikit memudar karena jari yang terlalu sering menyentuhnya tanpa dibaca.
Buku itu milik saya. Dibeli dua tahun lalu di kios buku bekas dekat terminal, di hari hujan yang membuat celana saya basah sampai lutut. Saat itu saya sedang patah hati---dan entah kenapa berpikir bahwa membeli buku bisa menyelamatkan.
Saya hanya membaca sampai halaman dua puluh tiga. Di sana, seorang tokoh sedang duduk di bangku taman, memandangi burung-burung yang tak pernah tinggal di satu tempat terlalu lama.Â
Lalu, entah mengapa, saya berhenti membaca. Bukan karena ceritanya jelek. Tapi karena saya merasa kalimat-kalimatnya terlalu dekat. Terlalu jujur.
Setiap kali saya ingin melanjutkan, ada saja yang mengalihkan. Kadang hanya karena lapar. Kadang karena saya takut melanjutkan---seolah buku itu tahu sesuatu yang belum siap saya hadapi. Maka ia pun teronggok begitu saja, di antara kabel charger, pulpen mati, dan debu yang tenang.
---
Suatu siang, tetangga saya, Mbak Yanti, datang meminta seutas teh celup. Ia melihat buku itu.
"Kamu baca ini?" tanyanya.
Saya mengangguk ragu.
"Bagus," katanya. "Saya suka yang begini. Diam-diam tajam."