Setiap tanggal 1 Mei, dunia memperingati Hari Buruh Internasional, sebuah momen yang lahir dari sejarah panjang perjuangan kelas pekerja menuntut hak dan martabat kerja yang adil.
Namun, peringatan ini kerap dipusatkan di kota-kota besar, di kawasan industri, dan di pusat-pusat kekuasaan ekonomi. Desa, dengan segala dinamika kerja dan penghidupannya, kerap absen dari panggung besar ini. Padahal, denyut kerja di desa tidak kalah penting, bahkan sering kali lebih sunyi, lebih berat, dan lebih rentan.
Masyarakat desa adalah potret dari keragaman bentuk kerja yang jarang masuk dalam kategori formal. Petani, buruh tani, nelayan kecil, pengrajin, pelaku UMKM rumahan, guru honorer, tenaga kesehatan kontrak, hingga pendamping desa---semuanya adalah pekerja.
Mereka adalah bagian dari tenaga produktif bangsa, tetapi sering kali hidup tanpa perlindungan hukum yang memadai, tanpa jaminan sosial, dan tanpa pengakuan status kerja yang jelas. Sebagaimana dilaporkan Kompas (2025), Hari Buruh yang ditetapkan sebagai hari libur nasional melalui Keppres No. 24 Tahun 2013 seharusnya menjadi refleksi atas seluruh bentuk kerja, baik di kota maupun di desa.
Pendamping desa menjadi contoh konkret pekerja di desa yang kerap terpinggirkan dari diskursus buruh. Mereka adalah pelaksana program negara yang bekerja di garis depan pembangunan. Tugas mereka tidak sederhana: menyusun dokumen perencanaan, memfasilitasi musyawarah desa, menjembatani warga dengan birokrasi, hingga menyelesaikan konflik sosial.
Mereka harus hadir di setiap forum, bekerja lintas sektor, dan sering kali menjadi sasaran tekanan politik lokal. Namun, status mereka tetap tidak tetap. Banyak yang hanya dikontrak tahunan, harus melamar ulang setiap tahun, dan tidak mendapat jaminan sosial dari negara.
Buku Guy Standing, "The Precariat: The New Dangerous Class" (Bloomsbury, 2011), menyebut kondisi ini sebagai bentuk kerentanan kerja modern. Pekerja seperti pendamping desa adalah bagian dari kelas "precariat", yakni mereka yang bekerja tetapi hidup tanpa kepastian. Mereka menjadi simbol kontradiksi pembangunan: negara menginginkan desa maju, tetapi tidak melindungi pekerja yang mewujudkannya.
Selain pendamping, desa juga dipenuhi pekerja informal lain yang menghadapi tantangan serupa. Buruh tani, misalnya, bekerja di lahan milik orang lain, dibayar harian, dan tanpa perlindungan harga hasil panen. Mereka adalah tulang punggung ketahanan pangan nasional, namun hidup dalam ketidakpastian cuaca dan pasar.
Begitu pula perempuan pelaku UMKM desa yang merintis usaha rumahan, dari olahan pangan lokal hingga kerajinan, sering tanpa akses modal dan jaringan pemasaran yang adil. Mereka bekerja keras, namun kerja mereka sering tak diakui dalam statistik ekonomi formal.
Dalam "Development as Freedom" (Oxford University Press, 1999), Amartya Sen menekankan bahwa pembangunan sejati adalah ketika manusia memiliki kebebasan memilih dan menentukan hidupnya sendiri. Dalam konteks ini, pekerja desa harus memiliki pilihan dan perlindungan yang memungkinkan mereka hidup layak, bukan hanya bertahan. Negara tidak bisa bicara soal pembangunan desa jika tidak memastikan keadilan kerja bagi warganya.
Hari Buruh adalah momen untuk memperluas makna kerja. Bukan hanya tentang pabrik dan serikat buruh, tapi juga tentang sawah, tambak, bengkel, warung, dan balai desa. Ini adalah panggilan untuk mengakui bahwa kerja produktif berlangsung di mana-mana, termasuk di desa-desa yang jauh dari sorotan kamera dan hiruk-pikuk ibu kota. Pengakuan terhadap pekerja desa adalah bagian dari keadilan sosial, bagian dari cita-cita kemerdekaan.
Michael Edwards dalam "The Real World of NGOs" (Zed Books, 2000) menyebut pentingnya kehadiran aktor lokal dalam proses transformasi sosial. Pendamping desa, pelaku UMKM, dan buruh tani adalah aktor lokal itu. Mereka bukan sekadar pelaksana program, tapi subjek yang memiliki agensi, kreativitas, dan pengalaman hidup. Namun, tanpa perlindungan kerja dan tanpa suara dalam kebijakan, mereka akan terus dipinggirkan.
Hari Buruh di desa semestinya diperingati bukan dengan spanduk dan orasi, tetapi dengan refleksi kebijakan. Apakah desa-desa telah memberi perlindungan bagi pekerjanya? Apakah pemerintah telah menyusun regulasi yang menjamin kerja layak di desa? Apakah anggaran pembangunan memperhitungkan kesejahteraan mereka yang menggerakkan roda pembangunan dari bawah?
Sudah saatnya negara hadir lebih kuat dalam mengakui kerja-kerja di desa. Ini bisa dimulai dari kebijakan afirmatif bagi pendamping desa: status kerja yang jelas, jaminan sosial, pelatihan berkala, dan ruang partisipasi dalam pengambilan kebijakan. Demikian juga dengan buruh tani dan pelaku UMKM desa: akses terhadap perlindungan harga, modal usaha, jaminan kesehatan, dan pelindungan dari eksploitasi pasar.
Jika Hari Buruh ingin tetap relevan di Indonesia, ia harus menjangkau desa. Karena di sanalah masih banyak buruh yang tak bernama, tak bergaji tetap, tapi bekerja setiap hari untuk menghidupi diri, keluarga, dan bangsanya. Pekerja desa tidak minta diistimewakan, tapi mereka layak diakui, dilindungi, dan dihormati. Itulah makna sejati dari Hari Buruh yang berpihak pada seluruh rakyat pekerja.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI