Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Seorang analis pembangunan desa dan konsultan pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan integrasi SDGs Desa, mitigasi risiko bencana, serta pengembangan inovasi berbasis lokal. Ia aktif menulis seputar potensi desa, kontribusi pesantren, dan dinamika sosial di kawasan timur Indonesia. Melalui blog ini, ia membagikan ide, praktik inspiratif, dan strategi untuk memperkuat ketangguhan desa dari tingkat akar rumput. Dengan pengalaman mendampingi berbagai program pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, blog ini menjadi ruang berbagi pengetahuan demi mendorong perubahan yang berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ketika Suara Desa Membeku dalam Dingin Konflik

27 April 2025   12:12 Diperbarui: 27 April 2025   12:12 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: Image by rawpixel.com on Freepik)

Ada desa yang membeku, bukan karena musim dingin, melainkan karena komunikasi yang membatu. Seorang pendamping desa melihat bagaimana keengganan bicara menjadi sumber lumpuhnya seluruh pemerintahan lokal di penghujung 2024. Tulisan berikut diadaptasi dari cerita yang diposting Yudha330817 di Grup Pesona Desa Nusantara (27 April 2025).

Dalam Silent Politics: Implicit Communication and Democratic Life karya E.E. Schattschneider (University of Iowa Press, 1960), dikatakan bahwa diam dalam politik lokal bukan berarti tak ada masalah, tetapi masalah yang tidak pernah terselesaikan.

Pendamping itu menyaksikan sendiri. Kepala desa dan sekdes tak sekadar berselisih, melainkan membiarkan perselisihan itu menjadi tembok tinggi yang menutup seluruh jalur pengambilan keputusan, termasuk penyusunan APBDes.

Upaya membuka percakapan dilakukan berulang. Dengan membawa regulasi, membawa teladan, membawa bahasa lembut, semuanya mentah. Tidak ada yang lebih keras dari kesunyian yang disengaja dalam tubuh pemerintahan desa.

Waktu berjalan lambat, seperti detik-detik dalam ruangan gelap. Pemerintahan desa menjadi lumpuh. Tidak ada gaji, tidak ada pelayanan, tidak ada upaya memperbaiki. Hanya keheningan yang semakin pekat.

Dalam Democracy and Its Critics (Yale University Press, 1989), Robert A. Dahl menulis bahwa demokrasi gagal bukan karena kekurangan prosedur, melainkan karena hilangnya kehendak kolektif untuk berbicara dan mendengar satu sama lain.

Hingga pertengahan Maret 2025, kesabaran pendamping itu, kecamatan, dan masyarakat mulai menipis. Sebuah musyawarah besar difasilitasi, mengumpulkan semua pihak dalam satu meja, membongkar kebisuan yang sudah menjadi kebiasaan.

Pertemuan itu lebih mirip ritual penyembuhan luka batin. Semua orang datang dengan ketegangan, rasa malu, kemarahan, dan kelelahan. Satu per satu, suara yang hilang mulai muncul, walau dengan getar dan rasa takut.

Baca juga: Karma

Penting untuk memahami apa yang ditulis oleh Fisher dan Ury dalam Getting to Yes (Penguin Books, 2011): solusi tidak lahir dari siapa yang paling keras bersuara, melainkan dari siapa yang bersedia mendengar lebih dalam.

Pada akhirnya, komunikasi yang terbangun di musyawarah itu melahirkan keputusan: APBDes harus disusun, tidak untuk memenangkan ego, tetapi untuk menghidupkan kembali mesin pemerintahan yang nyaris mati karena diam.

Penyusunan APBDes pun bergulir. Tidak mulus, penuh revisi, penuh ketidaknyamanan. Namun, setidaknya, ada gerak. Ada kehidupan. Seperti aliran sungai kecil yang berhasil memecah batu besar di tengah-tengahnya.

Pendamping itu mengerti, membangun desa bukan semata soal membangun fisik, bukan sekadar proyek jalan atau irigasi. Ini tentang membangun ruang batin bersama, sebagaimana digambarkan dalam Community: The Structure of Belonging (Berrett-Koehler Publishers, 2008) oleh Peter Block.

Desa itu akhirnya punya APBDes. Pemerintahan berjalan lagi. Tapi luka yang pernah ada, meski tersembunyi, tetap meninggalkan jejak. Karena tidak semua bekas luka bisa dihapus oleh secarik naskah anggaran.

Begitulah tugas pendamping. Bukan sekadar membenarkan administrasi. Ia harus membaca keheningan, mendengar suara yang tidak terdengar, dan menyalakan obor kecil dalam kegelapan panjang yang tidak semua orang mau lihat.

Di banyak desa, mungkin ribuan kasus serupa terjadi. Konflik kecil yang dibiarkan membesar, membungkam desa, membekukan harapan, karena tak ada ruang untuk bicara dan mendengar.

Membangun desa berarti membangun kepercayaan. Sebagaimana diajarkan dalam Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity oleh Francis Fukuyama (Free Press, 1995), tanpa kepercayaan, tak ada ekonomi, tak ada demokrasi, tak ada masa depan.

Pendamping itu pun menutup kisahnya dengan satu kalimat lirih: membangun jalanan desa itu mudah, tetapi membangun jalanan hati manusia jauh lebih sulit.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun