Ada desa yang membeku, bukan karena musim dingin, melainkan karena komunikasi yang membatu. Seorang pendamping desa melihat bagaimana keengganan bicara menjadi sumber lumpuhnya seluruh pemerintahan lokal di penghujung 2024. Tulisan berikut diadaptasi dari cerita yang diposting Yudha330817 di Grup Pesona Desa Nusantara (27 April 2025).
Dalam Silent Politics: Implicit Communication and Democratic Life karya E.E. Schattschneider (University of Iowa Press, 1960), dikatakan bahwa diam dalam politik lokal bukan berarti tak ada masalah, tetapi masalah yang tidak pernah terselesaikan.
Pendamping itu menyaksikan sendiri. Kepala desa dan sekdes tak sekadar berselisih, melainkan membiarkan perselisihan itu menjadi tembok tinggi yang menutup seluruh jalur pengambilan keputusan, termasuk penyusunan APBDes.
Upaya membuka percakapan dilakukan berulang. Dengan membawa regulasi, membawa teladan, membawa bahasa lembut, semuanya mentah. Tidak ada yang lebih keras dari kesunyian yang disengaja dalam tubuh pemerintahan desa.
Waktu berjalan lambat, seperti detik-detik dalam ruangan gelap. Pemerintahan desa menjadi lumpuh. Tidak ada gaji, tidak ada pelayanan, tidak ada upaya memperbaiki. Hanya keheningan yang semakin pekat.
Dalam Democracy and Its Critics (Yale University Press, 1989), Robert A. Dahl menulis bahwa demokrasi gagal bukan karena kekurangan prosedur, melainkan karena hilangnya kehendak kolektif untuk berbicara dan mendengar satu sama lain.
Hingga pertengahan Maret 2025, kesabaran pendamping itu, kecamatan, dan masyarakat mulai menipis. Sebuah musyawarah besar difasilitasi, mengumpulkan semua pihak dalam satu meja, membongkar kebisuan yang sudah menjadi kebiasaan.
Pertemuan itu lebih mirip ritual penyembuhan luka batin. Semua orang datang dengan ketegangan, rasa malu, kemarahan, dan kelelahan. Satu per satu, suara yang hilang mulai muncul, walau dengan getar dan rasa takut.
Penting untuk memahami apa yang ditulis oleh Fisher dan Ury dalam Getting to Yes (Penguin Books, 2011): solusi tidak lahir dari siapa yang paling keras bersuara, melainkan dari siapa yang bersedia mendengar lebih dalam.
Pada akhirnya, komunikasi yang terbangun di musyawarah itu melahirkan keputusan: APBDes harus disusun, tidak untuk memenangkan ego, tetapi untuk menghidupkan kembali mesin pemerintahan yang nyaris mati karena diam.