Pagi itu, angin berembus perlahan dari balik jendela. Tapi Andika pulang sekolah seperti sedang memikul beban dunia. Raut wajahnya kusut, dan langkahnya terseret---seolah-olah seluruh kejadian pagi tadi bersekongkol merampas semangatnya.
Tanpa banyak bicara, tasnya digeletakkan di atas sofa. Sepatu dilepas tanpa arah, menabrak kaki kursi. Jaketnya dilempar begitu saja, terbang dan mendarat tak tentu arah.
Dari dapur, Ibunya mendengar semua bunyi itu. Tapi ia tidak beranjak. Kedua tangannya tetap menari di atas talenan, memotong kangkung dengan ketenangan seorang perempuan desa yang sudah kenyang menghadapi badai kehidupan.
Setelah beberapa saat, barulah sang ibu keluar dari dapur. Ia mendekati Andika yang duduk membisu di ruang tamu. Tanpa bertanya macam-macam, beliau duduk di samping anak semata wayangnya itu.
Dengan suara tenang seperti desir daun pisang diterpa angin sore, sang ibu membuka percakapan,
"Ada apa, Nak? Mukamu seperti sandal hilang sebelah. Jalan masih bisa, tapi ganjil."
Andika menarik napas panjang.
"Aku ribut sama Rafi, Bu. Katanya aku ngomongin dia di belakang. Padahal aku cuma cerita. Cuma bilang dia itu pelupa."
Ibu mengangguk perlahan, seperti sedang membenarkan posisi angin di dadanya.