"Jangan sampai lilin ini padam"
Aku ingat sorot mata Resti yang mengatakan itu padaku.
Aku tergidik, membayangkan betapa dinginnya udara luar. Lalu bagaimana Resti mampu menahan sedangkan ia dalam kondisi tak tertutupi sehelai benang pun? Dadaku berkecamuk resah. Berulang kali kututupi nyala lilin dengan kedua tanganku.
Pukul dua pagi, lebih tiga belas menit.
Resti belum juga kembali.
Dalam balutan kecemasan aku masih saja berharap jika semuanya berjalan seperti yang Resti inginkan. Tembikar tanah liat di sampingku seperti menyala, bersiap akan kehadiran seonggok hati yang siap dimasukkan ke dalamnya. Satrio akan kembali, tentu jika Tuhan berkehendak.
Angin menyeruak. Hujan tiba tiba menghantam disertai gemuruh. Ketakutanku memuncak hingga ke ujung syaraf. Tak dapat kubendung rasa gelisahku.
Lilin padam, tertiup amukan angin. Aku menjerit, namun terlambat.
Menggigil, aku terjungkal. Terseok seok kakiku melangkah ke luar.
Hujan menghantam langkahku, aku harus mencari Resti. Mungkin esok hari akan kucari dukun yang kemarin menyuruh Resti menjadi babi, akan kubunuh dia dengan tanganku sendiri.
-