Aku tahu segala upayaku untuk mencoba ikhlas ini takkan bisa menjadikan Bapak kembali di sisiku. Hari hari semenjak Bapak tidak ada adalah hari yang sangat berat. Bahkan ketika aku sudah selesai dengan studiku, aku tak juga lekas membaik. Aku seperti kehilangan arah. Juga peran Ibu yang sangat mendominasi hidupku. Rasanya aku ingin ikut Bapak.
"Tetapi Nirin sudah bisa membuat Bapak tersenyum atas gelar master yang Nirin persembahkan kan ya Pak? Bapak suka kan?"
Angin pagi berhembus pelan. Menyeduh kabut kabut dan membuat pandangan menjadi lebih jernih. Embun berebut meluncur dari daun yang tertinggi, dan aku masih saja merasa tertinggal dalam kehidupan.
Aku berdiri, menuntaskan mawar yang kubawa. Kemudian menatap arah utara, sebuah gubuk kecil yang kini tak berpenghuni.
Kuikat lagi botol kasturiku, menyimpannya dari balik stagen*2.
Aku pulang, meninggalkan Bapak.
Tetapi aku berjanji akan menemani Bapak lebih sering daripada saat ini.
-
"Dua puluh enam tahun, dulu umur segitu Ibuk sudah mengantarkan kamu masuk sekolah dasar" lagi, Ibu menyinggung angka yang kini kuinjak. Tangan Ibu yang terampil mengepang rambutku sesekali mengoleskan minyak kelapa. Rasanya sangat nyaman, sesuatu yang tak pernah aku rasakan selama tiga tahun belakangan.
"Waktu Ibuk menikah dengan Bapak, sebenarnya ada juga keinginan Ibuk untuk melanjutkan sekolah lagi. Tetapi, nenekmu itu lumayan cerewet. Sampai sekarang masih juga begitu. Jadi Ibuk tidak bisa menjadi seberuntung kamu, Ndhuk"
Aku masih saja diam, membisu sembari memainkan ujung kemeja yang kupakai.