Nah kubilang apa?
Eh, tapi…
“Maaf ya, Bu. Saya ambil lagi.” Katanya lagi sambil mengangkat parcel yang sebelumnya diletakkan di teras rumah. “Kalau gitu saya permisi ya, bu.”
Aku tersenyum tipis tetapi entah mengapa aku masih merasa ada yang janggal di sini. Aku yakin betul kalau nama Harry Setiawan adalah nama suamiku. Tetapi siapa Clarisa? Mengapa kiriman parcel justru tersasar kemari?
Berbagai prasangka buruk pun seketika terlintas di benakku. Tetapi cepat-cepat kutepis, aku tak boleh berpikir tidak-tidak tentang suamiku. Dia laki-laki yang baik dan bertanggungjawab. Tak pernah sekalipun pernah menyakitiku. Jadi mungkin memang benar salah alamat saja.
Tapi…
“Mas, mas!” kutahan langkah sang kurir yang hendak meninggalkan halaman rumah.
“Eh, iya Bu,”
“Boleh tahu alamat baru yang mau dikirimin itu parcel?”
***
Aku menarik nafas lega saat melihat kurir yang sejam lalu berada di rumahku berhenti tepat di sebuah rumah. Sungguh aku kesal dengan si kurir karena tak mau memberikan alamat padaku, jadi mau tak mau aku harus mengikuti dirinya.