Mohon tunggu...
Iman Suwongso
Iman Suwongso Mohon Tunggu... Penulis/Wartawan -

Ketika angin berhembus kutangkap jadi kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Iblis Penguasa Hutan Jati

29 April 2016   09:15 Diperbarui: 29 April 2016   10:37 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Pohon Besar

Kharanakameculhas. Itu nama yang kami kenal. Dia sendiri yang memperkenalkan diri pada orang yang bertemu dengannya. Namun, dasar kami ini orang kampung yang mencari mudahnya saja, kami memanggilnya Culas.

Apa arti nama panjang Culas itu, tidak ada yang mengetahui. Adapun nama Culas oleh orang kampung diothak-athik-gathuk, 1) karena bangsa mereka memiliki sifat umum semacam itu: culas. Karena Culas memang makhluk sebangsa iblis.

Seperti bangsa iblis lainnya, tentu saja Culas menyimpan banyak misteri. Satu diantara misteri itu terletak pada jenis kelaminnya.  Menurut nenek moyang, leluhur kami yang membuka desa yang kemudian kami tinggali ini, sudah bertemu dengan Culas semenjak pertama kali kakinya menginjakkan tempat ini.

Waktu itu siang hari, tatkala sedang mendirikan yup-yupan2)datang seorang perempuan. Parasnya cantik rupawan, usianya kira-kira 25 tahunan, payudaranya juga montok. Leluhurku itu, usianya sepantaran dengannya, tentu saja blingsatan dikunjungi orang cantik. Perasaannya antara bergelora dan curiga. Nafsu dan akalnya berbenturan.

Belum lagi selesai kecamuknya, perempuan itu bilang. “Kang sarapan dulu.”

Bujuk rayunya persis seorang istri yang sedang mengirim ransum di tengah tegalan ketika suaminya bekerja keras menggarap tanah. Leluhurku itu memang benar orang yang linuwih,3)suka prihatin, dan senantiasa waspada. Ia tahu makanan yang dibungkus daun jati itu ketika dibuka berisi binatang-binatang serangga; kalajengking, orong-orong, ada juga kecoaknya. Ihh!

Leluhurku menolak secara halus. “Jangan macam-macam, bawa pulang saja makanan itu untuk kerabatmu.”

Ya, perempuan itu mengerti. Mengerti yang dimaksud leluhurku, mengerti juga tenaga batin yang dimilikinya. Ia cepat-cepat mebungkus makanannya dan segera pergi.

Kedua kalinya, Culas menggoda leluhur kami itu dengan mengubah tanah yang sedang dicangkul untuk ditanami menjadi hamparan batu. Sejenak leluhur kami itu meneng,4) lantas mengambil sebuah kerikil dan melemparkannya di atas hamparan batu itu. “Yen dulur ojo nggoda, yen musuh tak depi saiki.” 5)

Seketika Culas muncul melolong-lolong, minta ampun. Kali ini ia datang sebagai laki-laki tampan berwajah bersih, usianya 30-an tahun. Ia bersumpah, tidak akan menggoda leluhur kami lagi sampai anak turunnya.

Demikianlah, ketika kerabat leluhur kami mulai berdatangan beranak pinak, perjumpaan dengan Culas juga seperti yang sudah-sudah. Kadang muncul sebagai perempuan cantik berpayudara montok, lain waktu datang sebagai laki-laki yang tampan berwajah bersih.

Ketika berjumpa dengan kami dari turunan ke-27, Culas tetap saja tampangnya berusia 25-an tahun ketika berwujud perempuan, dan 30-an tahun ketika berwujud laki-laki. Ya, begitulah Culas, begitulah si iblis yang satu ini.

Aku tidak paham, dia ini berasal dari jenis iblis yang mana. Beberapa generasi sebelumku pernah tidak percaya pada sumpah Culas. Karena iblis memang ada di atas bumi ini untuk menggoda manusia. Ketidak-percayaan itu muncul begitu kuat ketika leluhur kami yang membuka desa ini seda.6) Namun, ternyata tidak! Culas membuktikan sumpahnya.

Aku sendiri terhitung tiga kali bertemu Culas. Pertama kali ketika berumur 12 tahun, sudah selesai sunat. Ya, seperti anak kecil lainnya, aku membantu emak mencari rencek. 7) Kala itu aku sendirian sampai di kedalaman hutan Jati.

Sebelumnya hutan Jati tempat tinggal Culas itu, aku bayangkan tumbuh berjajar-jajar pohon jati yang kokoh, dengan daunnya yang lebar dan berguguran saat musim kering semacam ini. Tapi, tidak. Tidak ada deretan jati yang ranting-ranting keringnya menghiasi langit biru. Yang ada berbagai pohon yang besar, dan semak belukar lebat daunnya mengering.

Culas muncul dihadapanku ketika aku sampai di sebuah pohon besar yang kokoh. Nah, inilah pohon jati satu-satunya di hutan ini. Ya, disini pula Culas tinggal. Belum selesai kegiranganku menemukan pohon jati, wajah Culas menghadang di depan mataku. Culas tampil sebagai perempuan 25-an tahun yang cantik. Aku gemetar memandang wajah dan tubuhnya. Aku sudah menduga yang muncul ini Culas, tetapi aku tidak membayangkan kalau kecantikannya sampai menyesakkan nafasku. Rasanya aku akan mimpi basah di usia anak-anak. Menggemaskan!

Kami tidak saling mengganggu, bahkan ia membantu dengan cepat mencari rencek. Disela mengambil ranting-ranting, aku beranikan bertanya kepadanya, tentang asal muasalnya.

“Tiba-tiba saja diturunkan di sini.” katanya.

“Siapa...”

“Ya, yang menciptakan aku.”

“Mengapa?”

“Tak tahu. Seperti nenek moyangmu juga kenapa diturunkan di sana. Cuma aku dipatok untuk menggoda bangsamu.”

“Jadi?”

“Ya, memang benar bangsaku Iblis.”

“Seperti juga yang pernah aku dengar dari orang tuaku?”

Ia tersenyum.

“Kenapa kau tidak mengganggu kami?”

“Karena sumpahku pada leluhurmu.”

“Tapi dia sudah meninggal.”

“Tapi dia masih mengawasiku.”

Kami berpisah di perbatasan hutan jati dan desa kami.

Pertemuan kedua dengannya ketika aku sudah remaja, 25 tahunan. Ia masih berwujud perempuan. Bertemu dengannya tidak di hutan Jati, tapi ia datang ke rumahku, ke pedalaman kamarku. Saat aku terlentang memandang buram langit-langit menjelang petang, ia mengetuk pintu kamar. Aku merasa aneh dengan ketukan ini --biasanya keluargaku tak pernah ketuk pintu segala kalau masuk kamarku, nylonong8) saja. Jadi aku baru membuka pintu setelah ketukan ketiga kalinya.

Aku tidak percaya dia datang. Ya, kali ini aku betul-betul berkeringat dingin menghadapinya. Mataku celingukan.            Culas segera masuk, menyelinap dan mendorongku segera menutup pintu. Di dalam kamar berdua. Meskipun dia iblis, tapi perempuan yang... Ah! Remajaku meremang. Aku hampir menubruknya kalau saja tidak tiba-tiba wajahnya memancarkan penderitaan.

Jadinya, aku pegang saja tangannya.

“Ada apa?”

Ia tidak terisak, air matanya meleleh di pipi jatuh berkilap di ujung kuku ibu jari kaki. Oh! Jangan kau pendam sendiri penderitaanmu perempuan cantik. Aku merajuknya untuk bicara. Mengapa begitu menderita? Bukankah iblis bisa mengatasi segalanya? Pastilah ini bukan tipu daya.

“Kami kedatangan musuh.” katanya. Air matanya ia seka dengan punggung tangan.

“Musuh? Kau punya musuh?” Aku bodoh.

“Tentu saja. Kami dilahirkan sudah punya musuh.”

“Manusia bukan?”

Ia mengangguk.

Culas bercerita. Malam tiga hari yang lalu hutan Jati didatangi tiga manusia. Tanpa bisa dicegah mereka menebarkan mantra-mantra. Begitu dahsyatnya mantra itu, yang diramu dari tiga dengus nafas, digetarkan dari tiga bibir, dikendalikan dari tiga naluri yang berbeda namun semua memiliki ketajaman yang seimbang. Culas dan kerabatnya tidak bisa menangkal. Mereka blingsatan. Seluruhnya segera takhluk, hanya tinggal Culas bertahan memeluk pohon jati --satu-satunya pohon jati di hutan Jati, tempat tinggal Culas-- erat-erat. Namun salah satu diantara ketiga manusia itu menjambak rambut Culas dan melemparkannya beberapa kilometer, di pinggir jurang.

“Aku tidak bisa lama-lama...”

Culas pergi meninggalkan segumpal batu dalam pikiranku. Menggelisahkan aku sepanjang malam. Mengapa juga memikirkan iblis? Tapi tidak, teman tidak mengenal bangsa...

Esok siang, aku pergi ke hutan Jati. Tidak mencari renceklagi, hanya menengok Culas. Dari ujung desa aku mendengar suara mesin yang ramai di hutan sana. Apa lagi ini?

Di perbatasan desa dan hutan Jati, persis di titik dulu Culas mengantarku sehabis mencari rencek, aku berhenti sejenak. Dari tempat ini, dari sela-sela pohon yang berdiri, aku menyaksikan pohon-pohon bertumbangan. Suara mesin senso mengiang mengusir suara merdu burung-burung. Ada dua begho dan dua buldoser parkir di tanah lapang. Uh! Hutan ini segera rata!

Pikiranku segera ke Culas. Betul! Di pohon jati besar aku tidak menemukan Culas lagi. Kerabatnya juga tak aku temukan jejaknya. Aku segera ke jurang yang kemarin diceritakan Culas. Aku tahu dimana letak jurang itu. Aku telusuri bibirnya.

Di dekat rumpun bambu aku temuka Culas. Ia merintih. Rintihnya berkejaran dengan suara mesin gergaji. Tubuhnya memar. Kaki mengangkang, tangannya merentang. Katanya, sepulang dari tempatku ia kepergok tiga manusia yang pernah melemparkannya. Lantas ia diikat, diseret dan dipasak di tebing ini.

“Aku tak bisa kemana-mana, hanya di sini. Pohon-pohon tempatku berayun telah lenyap, tak akan ada lagi rencekyang bisa dipungut anak-anak.”

Pada semburat merah senja aku memandang wajah Culas. Tebayang kisah  leluhurku, “Iblis yang menguasai hutan Jati itu.”

Aku tidak terisak, air mataku meleleh di pipi jatuh berkilap di ujung ibu jari kakiku.

            ***

Djoglo Pandanlandung Malang,
 2003/2016
 iman.suwongso@yahoo.co

  • diothak-athik-gathuk = logika khas masyarakat desa
  • yup-yupan = tempat berteduh
  • linuwih = memiliki ilmu gaib
  • meneng =berdiam diri, konsentarsi, meditasi
  • Yen dulur ojo nggoda, yen musuh tak depi saiki = kalau saudara jangan menggoda, kalau musuh aku hadapi sekarang
  • seda = mati
  • rencek= ranting
  • nylonong = masuk tanpa permisi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun