Narasumber: Kompol Leo Nisya Sagiya, S.I.K. Kasubditbintibsos Ditbinmas Polda DIY
Era Post-Truth: Ancaman Baru Bela Negara dan Peran Strategis Mahasiswa
Ancaman Era Post-Truth
Di era digital saat ini, masyarakat Indonesia dihadapkan pada fenomena post-truth, yaitu kondisi di mana emosi dan opini lebih dominan daripada fakta dalam memengaruhi pandangan publik. Informasi hoaks dan disinformasi menyebar dengan cepat melalui media sosial, memicu perpecahan sosial, serta menurunkan semangat nasionalisme. Hal ini menjadi ancaman baru bagi upaya bela negara, karena melemahkan kesatuan bangsa dan membuka ruang masuknya paham-paham radikal.
Menurut penelitian Lemhannas RI tahun 2024, sebanyak 39% mahasiswa terpapar paham radikal. Angka ini menunjukkan betapa rentannya generasi muda, khususnya mahasiswa, terhadap pengaruh informasi yang menyesatkan. Tantangan utama yang dihadapi adalah bagaimana mahasiswa mampu menyaring arus informasi yang tidak jelas kebenarannya, sekaligus menjaga integritas bangsa di tengah derasnya gempuran disinformasi.
Peran Strategis Mahasiswa dalam Bela Negara
Dalam menghadapi ancaman era post-truth, mahasiswa memiliki peran strategis sebagai garda terdepan dalam menjaga ketahanan bangsa. Sebagai generasi penerus, mahasiswa diharapkan mampu:
1. Meningkatkan literasi digital, agar mampu membedakan informasi yang benar dan menolak hoaks maupun ujaran kebencian.
2. Menjadi agen perubahan, dengan menyebarkan nilai kebangsaan, persatuan, dan sikap kritis yang konstruktif di tengah masyarakat.
3. Menjaga integritas dan nasionalisme, dengan tetap berpegang pada Pancasila serta semangat bela negara dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan peran strategis tersebut, mahasiswa bukan hanya menjawab tantangan disinformasi, tetapi juga memperkuat ketahanan bangsa. Generasi muda yang cerdas, kritis, dan berintegritas akan menjadi benteng kokoh dalam menjaga kedaulatan negara di tengah era post-truth.
Narasumber :Amika Wardana, S.Sos., MA.Ph,D
Sistem Pendidikan Tinggi Indonesia
Pendidikan tinggi memiliki akar dari tradisi kuno seperti Akademi Plato, Nalanda, dan Madrasah Islam. Pada abad pertengahan, universitas di Bologna, Paris, dan Oxford berfungsi sebagai pusat teologi, hukum, dan filsafat, dengan peran utama menjaga kebenaran serta mencetak profesional.
Memasuki era modern, perguruan tinggi dipengaruhi Renaisans dan Pencerahan yang menekankan humanisme, rasionalitas, dan sains. Model Humboldt (abad ke-19) memperkuat integrasi riset dan pengajaran dengan kebebasan akademik. Kini, universitas dituntut demokratis, menjadi investasi sumber daya manusia, serta membekali keterampilan abad ke-21: berpikir kritis, kolaborasi, dan literasi digital.
Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah (PTMA) melanjutkan komitmen pendidikan sejak 1912. Dengan lebih dari 163 kampus, PTMA menjadi jaringan PTS terbesar di Indonesia. Karakteristik utamanya adalah mengintegrasikan Islam Berkemajuan, menjunjung kemandirian, serta mendorong inovasi sosial. Saat ini, 19 PTMA terakreditasi Unggul, mencerminkan kualitas dan daya saingnya.
Menjadi mahasiswa berarti mendalami ilmu, membentuk karakter, berpikir kritis dan kreatif, mempersiapkan masa depan, serta berkontribusi untuk bangsa dan kemanusiaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI