Ada hal aneh yang sering saya alami: saya bisa mengingat setiap kata dari sebuah percakapan, tetapi sulit merasakan kembali kedekatan yang dulu pernah hadir.Â
Seolah-olah emosi yang saya rasakan waktu itu hilang begitu saja. Fenomena ini bukan sekadar "lupa," melainkan sesuatu yang dalam psikologi disebut emotional permanence kemampuan untuk menyimpan rasa dalam ingatan, sebagaimana kita menyimpan fakta atau kejadian.
Bagi orang dengan ADHD, hal ini adalah kenyataan sehari-hari.
Penelitian menunjukkan bahwa individu dengan ADHD kerap mengalami kesulitan dalam emotional permanence. Dr. Russell Barkley, pakar ADHD terkemuka, menyebut ADHD bukan hanya gangguan fokus, tetapi juga gangguan dalam mengatur emosi. Emosi datang seperti badai: kuat, tiba-tiba, lalu lenyap begitu saja.
Akibatnya, rasa sayang dari orang terdekat, dukungan teman, atau bahkan rasa dicintai bisa hilang seketika dari radar otak meskipun kita tahu itu nyata. Ini membuat banyak penyandang ADHD tampak "dingin" atau "acuh," padahal yang terjadi sebenarnya adalah memori emosional yang tidak bisa menempel.
Menurut Journal of Attention Disorders (2021), masalah permanensi emosi ini sering diperburuk oleh trauma masa kecil. Dalam konteks Indonesia, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 mencatat bahwa sekitar 10% anak berisiko mengalami gangguan perkembangan, termasuk ADHD. Namun hingga kini, kesadaran masyarakat dan guru di sekolah masih minim.
Bessel van der Kolk, penulis buku The Body Keeps the Score, menjelaskan: "Tubuh menyimpan apa yang pikiran coba lupakan." Trauma tidak selalu hadir dalam bentuk luka fisik. Ia bisa berupa ejekan di kelas, rasa ditolak, atau kegagalan yang berulang.
Saya sendiri mengalaminya. Pada usia 9 tahun, saya didiagnosa dengan disleksia dan ADHD. Di sekolah dasar, saya sering diejek sebagai anak "bodoh" hanya karena tidak bisa membaca secepat teman lain.Â
Saya bisa mengingat warna baju guru, setiap nada suara ketika beliau menegur, bahkan kata-kata kasar dari teman sebangku. Tetapi yang sulit saya simpan adalah rasa hangat ketika ada satu-dua orang yang sebenarnya membela saya.
Yang tertinggal hanya luka. Yang tersimpan hanya kata-kata pedas. Rasa hangatnya menguap.