Executive Dysfunction: Hidup dengan Otak yang Sibuk
Minggu lalu, saya menyaksikan seseorang mengganti filter air kulkas dalam waktu kurang dari satu jam. Bagi sebagian orang, ini mungkin terlihat biasa. Tapi bagi saya seorang penyandang disleksia dan ADHD momen itu terasa luar biasa.
Ia melihat peringatan di kulkas, pergi ke toko, membeli filter, lalu pulang dan langsung memasangnya. Selesai. Satu rangkaian sederhana, tanpa jeda, tanpa drama.
Bagi saya dan banyak orang lain yang hidup dengan executive dysfunction, hal itu ibarat keajaiban kecil. Sebab, menyelesaikan tugas sederhana sering kali terasa seperti mendaki Gunung Everest tanpa peralatan lengkap.
Executive dysfunction adalah kondisi ketika fungsi eksekutif otak bagian yang mengatur perencanaan, fokus, pengendalian diri, dan pengambilan keputusan tidak berjalan optimal. American Psychiatric Association menjelaskan bahwa fungsi eksekutif ini ibarat "direktur eksekutif" dalam otak kita, yang memastikan semua bagian bekerja sesuai urutan dan tujuan.
Menurut Russell Barkley, seorang peneliti ADHD terkemuka, executive dysfunction bukan soal "tidak mau", melainkan soal "tidak mampu secara neurologis" untuk mengatur langkah demi langkah dalam menyelesaikan sesuatu.
Data dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC, 2022) menunjukkan bahwa sekitar 5--7% anak di seluruh dunia mengalami ADHD, dan mayoritas dari mereka akan terus membawa tantangan executive dysfunction hingga dewasa. Di Indonesia, kesadaran tentang kondisi ini masih sangat rendah. Banyak anak justru mendapat label "malas" atau "nakal", padahal otak mereka bekerja dengan cara yang berbeda.
Saya sendiri didiagnosis disleksia dan ADHD pada usia 9 tahun. Sejak kecil, tugas sederhana seperti mengerjakan PR, merapikan meja, atau sekadar menulis catatan selalu terasa rumit. Butuh waktu bertahun-tahun bagi saya untuk menyadari bahwa ini bukan soal malas, melainkan soal bagaimana otak saya menyusun prioritas dan mengatur energi.
Bagi orang dengan executive dysfunction, menyelesaikan tugas sederhana bukan hanya soal "melakukan", melainkan menghadapi serangkaian hambatan:
- Memulai: Langkah pertama terasa paling berat.
- Fokus: Konsentrasi mudah teralihkan, satu hal kecil bisa melebar menjadi "lubang kelinci" Google.
- Manajemen waktu: Sering salah menakar berapa lama sesuatu akan selesai.
- Regulasi emosi: Tekanan kecil bisa memicu ledakan frustrasi.
Sehingga, sesuatu yang terlihat sederhana seperti mengganti filter kulkas bisa berubah menjadi drama panjang penuh jeda, distraksi, bahkan rasa bersalah.
Namun, ada kabar baik. Dengan strategi yang tepat, dukungan lingkungan, dan pemahaman yang lebih luas, orang dengan executive dysfunction bisa menemukan cara mereka sendiri untuk "mendaki gunung" sehari-hari.
Kuncinya adalah kesadaran. Masyarakat perlu berhenti memberi label "malas" atau "tidak peduli". Sebaliknya, kita perlu membuka ruang empati dan dukungan, baik di sekolah, tempat kerja, maupun keluarga.
Saya belajar bahwa hidup dengan disleksia dan ADHD bukan berarti kalah. Justru, saya diajak untuk menemukan cara berpikir dan bekerja yang kreatif. Mungkin jalannya tidak lurus dan cepat, tapi tetap bisa sampai tujuan dengan cara yang berbeda.
"Bagi sebagian orang, hidup adalah lintasan lurus. Bagi kami dengan executive dysfunction, setiap langkah adalah pendakian. Tapi setiap puncak yang kami capai, sekecil apa pun, adalah kemenangan besar." Imam Setiawan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI