Mohon tunggu...
Imam Setiawan
Imam Setiawan Mohon Tunggu... Praktisi pendidikan inklusif, penyintas disleksia-ADHD. Pendiri Homeschooling Rumah Pipit

Saatnya jadi Penyelamat bukan cuma jadi pengamat Saatnya jadi Penolong bukan cuma banyak Omong Saatnya Turuntangan bukan cuma banyak Angan-angan

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Executive Dysfunction: Hidup dengan Otak yang Sibuk

3 September 2025   11:38 Diperbarui: 4 September 2025   00:56 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Executive Dysfunction: Hidup dengan Otak yang Sibuk

Minggu lalu, saya menyaksikan seseorang mengganti filter air kulkas dalam waktu kurang dari satu jam. Bagi sebagian orang, ini mungkin terlihat biasa. Tapi bagi saya seorang penyandang disleksia dan ADHD momen itu terasa luar biasa.

Ia melihat peringatan di kulkas, pergi ke toko, membeli filter, lalu pulang dan langsung memasangnya. Selesai. Satu rangkaian sederhana, tanpa jeda, tanpa drama.

Bagi saya dan banyak orang lain yang hidup dengan executive dysfunction, hal itu ibarat keajaiban kecil. Sebab, menyelesaikan tugas sederhana sering kali terasa seperti mendaki Gunung Everest tanpa peralatan lengkap.

Executive dysfunction adalah kondisi ketika fungsi eksekutif otak bagian yang mengatur perencanaan, fokus, pengendalian diri, dan pengambilan keputusan tidak berjalan optimal. American Psychiatric Association menjelaskan bahwa fungsi eksekutif ini ibarat "direktur eksekutif" dalam otak kita, yang memastikan semua bagian bekerja sesuai urutan dan tujuan.

Milik pribadi
Milik pribadi

Menurut Russell Barkley, seorang peneliti ADHD terkemuka, executive dysfunction bukan soal "tidak mau", melainkan soal "tidak mampu secara neurologis" untuk mengatur langkah demi langkah dalam menyelesaikan sesuatu.

Data dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC, 2022) menunjukkan bahwa sekitar 5--7% anak di seluruh dunia mengalami ADHD, dan mayoritas dari mereka akan terus membawa tantangan executive dysfunction hingga dewasa. Di Indonesia, kesadaran tentang kondisi ini masih sangat rendah. Banyak anak justru mendapat label "malas" atau "nakal", padahal otak mereka bekerja dengan cara yang berbeda.

Saya sendiri didiagnosis disleksia dan ADHD pada usia 9 tahun. Sejak kecil, tugas sederhana seperti mengerjakan PR, merapikan meja, atau sekadar menulis catatan selalu terasa rumit. Butuh waktu bertahun-tahun bagi saya untuk menyadari bahwa ini bukan soal malas, melainkan soal bagaimana otak saya menyusun prioritas dan mengatur energi.

Bagi orang dengan executive dysfunction, menyelesaikan tugas sederhana bukan hanya soal "melakukan", melainkan menghadapi serangkaian hambatan:

  • Memulai: Langkah pertama terasa paling berat.
  • Fokus: Konsentrasi mudah teralihkan, satu hal kecil bisa melebar menjadi "lubang kelinci" Google.
  • Manajemen waktu: Sering salah menakar berapa lama sesuatu akan selesai.
  • Regulasi emosi: Tekanan kecil bisa memicu ledakan frustrasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun