Mohon tunggu...
Ilyaaa
Ilyaaa Mohon Tunggu... Proses Menuju Karir dan Akademik Penelitian

Saya adalah seorang Sarjana Teknik sekaligus Magister Arsitektur yang mencintai seni dalam berbagai bentuk. Sebagai seorang arsitek, saya menikmati proses mendesain bangunan menggunakan perangkat lunak desain Arsitektur, menciptakan ruang-ruang yang tidak hanya fungsional tetapi juga estetis. Selain mendesain, saya memiliki minat mendalam dalam seni menulis. Saya gemar mendeskripsikan dan menggambarkan setiap detail desain saya melalui kata-kata yang indah dan penuh makna. Bagi saya, seni menulis adalah cara untuk menghidupkan ide dan memberikan jiwa pada setiap karya arsitektur yang saya ciptakan. Menggabungkan kemampuan teknis dan artistik, saya tidak hanya merancang bangunan, tetapi juga bercerita melalui tulisan, menghadirkan gambaran yang utuh antara visualisasi dan narasi. Kecintaan saya terhadap seni dan arsitektur inilah yang menjadikan setiap proyek saya lebih dari sekadar desain, melainkan karya yang memiliki cerita dan nilai estetika.

Selanjutnya

Tutup

Roman

"Seperti Caci, Seperti Cinta"

7 Juni 2025   12:33 Diperbarui: 7 Juni 2025   12:32 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Nana Manggarai, seseorang yang menginspirasi kisah ini digunakan dengan izin pribadi.

Dalam riuh suara pecut yang membelah angin, dalam denting lonceng yang menari di pinggangnya, Nana Manggarai berdiri tegak---gagah, perkasa, seperti tiang rumah adat yang tak tergoyahkan badai.

Ia menari dalam Caci bukan sekadar untuk menang, tapi untuk menjaga kehormatan, merayakan warisan leluhur yang mengalir dalam darahnya. Ayunan cambuknya penuh ketegasan, tapi tatapan matanya tetap teduh, selembut angin yang turun dari bukit-bukit hijau Manggarai. Ia lelaki yang mengerti kapan harus menyerang, kapan harus bertahan, dan kapan harus menundukkan kepala dalam kebijaksanaan.

Aku melihatnya bukan hanya sebagai petarung, tapi sebagai pujangga yang menulis kisahnya dalam gerak, dalam sikap, dalam tutur kata yang menyejukkan. Dan tanpa kusadari, di tengah arena Caci yang bergetar oleh gemuruh keberanian, hatiku pun ikut takluk pada sosoknya.

Bagaimana aku tidak jatuh berkali-kali pada cinta yang seperti ini?

Bahkan saat amarah mengetuk, ia tidak mengeraskan suara. Ia merunduk, bukan karena kalah, tapi karena memilih menang lewat kelembutan. Ia mendidikku bukan dengan bentakan, tapi dengan cara yang membuatku belajar mencintai diriku sendiri. Pada lelaki sepertinya, cinta tidak menyakitkan---cinta menjadi pembelajaran.

Ia seperti Caci yang penuh makna, bukan sekadar laga. Ia tahu kapan harus diam, dan kapan bersuara. Ia tidak menuntut kemenangan, tapi memperjuangkan kehormatan. Ia mencintaiku sebagaimana ia mencintai budayanya---dengan jiwa, dengan rasa hormat, dan ketulusan yang tidak mengingkari asal.

Pernah suatu kali aku ditanya: "Bahagia nggak sama yang sekarang?"

Aku tersenyum, seperti daun yang menyentuh embun pertama. Tentu, aku bahagia---bahkan lebih dari doa-doa yang aku bisikkan ketika langit gelap. Dia adalah versi terbaik dari harapanku, hadir bukan sebagai janji, tapi sebagai bukti. Ia tidak menuntut, hanya menerima. Ia tidak menunjuk salahku, ia menggenggam tanganku dan mengajak memperbaiki bersama.

Aku tahu, tidak semua orang memiliki pria seperti ini. Tapi aku memilikinya. Dan itu cukup untuk menenangkan ribut dalam hidupku.

Cinta kali ini tidak membuatku mengejar, apalagi berlari. Ia hadir seperti matahari pagi yang tak memaksa, hanya menyapa. Dalam hiruk-pikuk dunia yang tak kenal jeda, ia datang membawa damai. Seperti rumah tanpa dinding yang hanya bisa kurasakan lewat teduh matanya dan doa-doa yang tak pernah absen kulangitkan. Cinta ini tidak membakar, tapi menghangatkan.

Kau tahu, betapa damainya mencintai pria yang tenang? Yang setiap katanya terdengar seperti alunan lagu lama yang membuatmu merasa aman. Ia mendengarkan kisah hariku seperti mendengar puisi. Ia menunjukkan salahku tanpa menyakiti, mengoreksi tanpa menghakimi. Ia menjadi ruang, bukan kurungan.

Dan di titik ini aku paham, bahwa rejeki bukan sekadar bilangan di rekening.

Tapi tentang ia---yang bertanggung jawab, yang teguh bekerja, yang berisi dalam wawasannya, yang paham arah dan akar budayanya. Ia yang tidak bersandar pada pelarian seperti alkohol atau judi, tapi pada nilai dan kendali diri. Ia tahu caranya menjaga kata, menjaga sikap, menjaga hati. Ia memuliakan wanitanya tanpa harus membuatnya merasa kecil. Ia raja dalam sikap, bukan takhta.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun