Dalam riuh suara pecut yang membelah angin, dalam denting lonceng yang menari di pinggangnya, Nana Manggarai berdiri tegak---gagah, perkasa, seperti tiang rumah adat yang tak tergoyahkan badai.
Ia menari dalam Caci bukan sekadar untuk menang, tapi untuk menjaga kehormatan, merayakan warisan leluhur yang mengalir dalam darahnya. Ayunan cambuknya penuh ketegasan, tapi tatapan matanya tetap teduh, selembut angin yang turun dari bukit-bukit hijau Manggarai. Ia lelaki yang mengerti kapan harus menyerang, kapan harus bertahan, dan kapan harus menundukkan kepala dalam kebijaksanaan.
Aku melihatnya bukan hanya sebagai petarung, tapi sebagai pujangga yang menulis kisahnya dalam gerak, dalam sikap, dalam tutur kata yang menyejukkan. Dan tanpa kusadari, di tengah arena Caci yang bergetar oleh gemuruh keberanian, hatiku pun ikut takluk pada sosoknya.
Bagaimana aku tidak jatuh berkali-kali pada cinta yang seperti ini?
Bahkan saat amarah mengetuk, ia tidak mengeraskan suara. Ia merunduk, bukan karena kalah, tapi karena memilih menang lewat kelembutan. Ia mendidikku bukan dengan bentakan, tapi dengan cara yang membuatku belajar mencintai diriku sendiri. Pada lelaki sepertinya, cinta tidak menyakitkan---cinta menjadi pembelajaran.
Ia seperti Caci yang penuh makna, bukan sekadar laga. Ia tahu kapan harus diam, dan kapan bersuara. Ia tidak menuntut kemenangan, tapi memperjuangkan kehormatan. Ia mencintaiku sebagaimana ia mencintai budayanya---dengan jiwa, dengan rasa hormat, dan ketulusan yang tidak mengingkari asal.
Pernah suatu kali aku ditanya: "Bahagia nggak sama yang sekarang?"
Aku tersenyum, seperti daun yang menyentuh embun pertama. Tentu, aku bahagia---bahkan lebih dari doa-doa yang aku bisikkan ketika langit gelap. Dia adalah versi terbaik dari harapanku, hadir bukan sebagai janji, tapi sebagai bukti. Ia tidak menuntut, hanya menerima. Ia tidak menunjuk salahku, ia menggenggam tanganku dan mengajak memperbaiki bersama.
Aku tahu, tidak semua orang memiliki pria seperti ini. Tapi aku memilikinya. Dan itu cukup untuk menenangkan ribut dalam hidupku.
Cinta kali ini tidak membuatku mengejar, apalagi berlari. Ia hadir seperti matahari pagi yang tak memaksa, hanya menyapa. Dalam hiruk-pikuk dunia yang tak kenal jeda, ia datang membawa damai. Seperti rumah tanpa dinding yang hanya bisa kurasakan lewat teduh matanya dan doa-doa yang tak pernah absen kulangitkan. Cinta ini tidak membakar, tapi menghangatkan.