Mohon tunggu...
Ilma Susi
Ilma Susi Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Islam Rahmatan Lil Alamin

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menyoal Efisiensi Konversi Kompor dan Mobil Listrik

29 September 2022   18:45 Diperbarui: 29 September 2022   18:51 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber image: Kompas.com

Secara bertahap pemerintah bakal melakukan konversi kompor gas ke kompor listrik. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sedang melakukan uji coba konversi kompor gas LPG 3 kg ke kompor listrik 1.000 watt. 

Untuk itu, pemerintah membagikan 2.000 paket kompor listrik untuk uji coba di Denpasar dan Solo. Nantinya, hasil uji coba akan dievaluasi dan menjadi dasar pelaksanaan konversi yang lebih masif tahun depan.(Kompas.com, 27/9/22).

Memasak dengan kompor listrik diklaim lebih cepat ketimbang memasqk menggunakan  kompor gas.  Disinyalir penggunaan kompor listrik  lebih hemat 10---15% dibandingkan kompor gas. 

Dengan selisih ini diharapkan  biaya yang dikeluarkan lebih ringan. Benarkah konversi kompor gas ke kompor listrik ini agar rakyat bisa berhemat pengeluarannya? Atau, adakah faktor lain yang menjadi penyebab dilakukannya konversi ini?

Konversi Kompor dan Mobil, Haruskah?

PLN menyatakan tengah mengalami oversupply produksi listrik hingga membebani keuangan perusahaan. Itulah yang menjadi alasan bagi kebijakan peralihan kompor gas ke kompor listrik. 

Hal itu sebagaimana yang dinyatakan oleh Menteri ESDM Arifin Tasrif,  bahwa rencana konversi kompor gas LPG ke kompor listrik adalah untuk menyiasati kelebihan pasokan listrik PLN. (CNN Indonesia, 23/09/2022). 

Sekjen Kementerian ESDM Rida Mulyana memprediksi bahwa hingga akhir 2022 ada kelebihan pasokan daya listrik PLN sebesar 6---7 gigawatt (GW). Berdasarkan sistem take or pay yang diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pokok-Pokok dalam Jual Beli Tenaga Listrik, atas kelebihan pasokan itu, PLN harus membayar penalti kepada IPP (independent power producer )  Kelebihan pasokan PLN ini yang bakal diserap melalui program konversi kompor gas ke kompor listrik.

Banyak pihak mempertanyakan urgensi kebijakan konversi kompor ini. Pasalnya, dengan kebijakan ini, tahun depan  bakal membagikan 300.000 paket kompor listrik dengan anggaran Rp540 triliun. 

Dalam kondisi ekonomi yang masih runyam  usai pandemi Covid-19, ditambah lesunya kondisi ekonomi global akibat inflasi, maka pentingnya konversi menjadi dipertanyakan. 

Bukankah selama ini pemerintah sering mengeluh tentang jebolnya APBN tersebab oleh subsidi, yang berujung pada naiknya  harga BBM ?  Bila pemerintah bakal meluncurkan program konversi, sungguh ini kebijakan yang  paradoksial.

Di sisi lain, meski pemerintah bakal memberikan kompor gratis, rakyat tetap harus membaryar  tagihan listrik di  setiap bulannya. Terlebih naiknya tarif dasar listrik telah menjadi agenda rutin  akibat dari liberalisasi ekonomi

Alhasil, konversi kompor gas ke kompor listris bakal menurunkan masalah baru.

Kebijakan Setengah Hati

Kebijakan konversi tak sebatas kompor listrik, pemerintah juga melakukan konversi BBM  ke mobil listrik.  Melalui Inpres 7/2022, Jokowi telah memerintahkan kepada seluruh kementerian, lembaga, dan pemda untuk menggunakan mobil listrik sebagai kendaraan dinas. Untuk itu akan dilakukan konversi  terhadap 189.803 unit kendaraan dinas.

Sementara itu Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, memandang penting dilaksanakan konversi ini untuk mencapai  visi net zero emissions pada 2060 (liputan6.com, 18/09/2022). Penggunaan mobil listrik ini diharapkan bisa memangkas impor BBM. Benarkah demikian sederhana masalahnya?

Konversi penggunaan bahan bakar minyak (BBM) ke energi listrik umumnya dikaitkan dengan program energi bersih. Tujuannya adalah untuk mengurangi emisi karbon dengan mengurangi bahan bakar fosil berupa minyak. 

Tampaknya tujuan ini baik yakni mewujudkan energi bersih. Namun, realitasnya pembangkit listrik masih didominasi batubara dan BBM. Di sinilah nampak  kebijakan konversi ini hanya setengah hati.

 Bila  serius untuk mewujudkan energi bersih, seharusnya pembangkit listrik lain  seperti tenaga angin, geotermal,  nuklir serius ditingkatkan. Dibutuhkan  kebijakan yang komprehensif, agar saling mendukung dan tidak menimbulkan masalah lain.

Belum lagi perkara efisiensi. Meningkatnya penggunaan listrik, beban di hilir mungkin berhasil dikurangi. Namun, beban  ini berpindah ke hulu berupa keharusan meningkatnya pembelian batubara dan BBM impor untuk pembangkit listrik.

Berkait mobil listrik, pengadaan mobil listrik ini berpeluang untuk membuka kran  impor. Pasalnya, saat ini Indonesia hanya memiliki dua pabrikan mobil listrik. Itu pun dengan kapasitas produksi yang kecil dengan merk Asing pula yaitu Wuling dan Hyundai. Mobil listrik  produk Indonesia ini pun masih menggunakan baterai impor.

Mobil asing bakal masuk ke negeri ini dengan mudah, karena adanya insentif bea masuk nol persen untuk mobil listrik. Walhasil, penggunaan mobil listrik secara masif hanya akan menguntungkan korporasi asing, sedangkan Indonesia tetap menjadi pasar bagi produk mereka.

Butuh Visi Kemandirian Energi

Cita-cita mewujudkan energi yang bersih dan efisien merupakan hal yang baik. Namun, untuk mewujudkannya tidak bisa dengan kebijakan tambal sulam dengan memindahkan beban dari hilir ke hulu;  mengurangi impor BBM, namun malah menaikkan impor mobil listrik.

Oleh karena itu, negara besar ini butuh visi besar pula yang  berlandas pada ideologi sahih untuk mewujudkan kemandirian energi sehingga tidak tergantung kepada impor. 

Islam sebagai sistem yang paripurna mampu menjawab itu semua. Membutuhkan penerapan sistemnya, khususnya di bidang  ekonomi Islam. Sistem sahih ini menjadikan tambang strategis menjadi milik rakyat yang wajib dikelola negara bukan swasta demi kemakmuran rakyat, dan bukan diserahkan kepada pihak swasta apalagi Asing.

Selain itu, butuh peta jalan yang jelas lagi aman dan benar untuk mewujudkan ketahanan dan kemandirian energi. Peta jalan ini dibuat berdasarkan syariat, bukan peta jalan yang didekte oleh kepentingan korporasi. Sungguh tepat ketika negara Islam (Khilafah) mampu mewujudkan visi rahmatan lil alamin. 

Dengan visi ini, negara akan menggelorakan jihad hingga menggentarkan musuh. Agar jihad bisa terlaksana, negara mutlak harus menguasai energi sehingga tidak ada satu pihak pun yang bisa menyetir kedaulatannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun