Kaki-kaki kami berhenti di tepi yang salah. Di depan, bukan lagi pepohonan yang dingin dan basah, melainkan hamparan monoton yang mereka sebut kebun.Â
Suara mesinnya menusuk telinga, menggantikan gemerisik dedaunan dan kicauan burung yang dulunya selalu menemani langkah kami.Â
Aku ingat betul, di bawah tanah yang sekarang tertutup aspal ini, ada sumber air yang sangat jernih.Â
Di tempat itu sekarang telah berdirinya menara besi, dulu adalah pohon ara raksasa dimana anak-anakku yang lucu belajar berteduh disana.
Kekhawatiranku ini bukan untuk diriku sendiri. Tapi untuk anak-anak muda di belakangku. Apakah mereka akan pernah tahu bahwa ini dulu adalah rumah?
Tapi, bukan berarti tidak ada harapan. Di tengah keputusasaan, secercah cahaya itu datang dari para penjaga sejati. Mereka adalah manusia yang aneh, lalu berjalan jauh ke dalam rumah (hutan). Bukan untuk mengambil, tapi untuk mengembalikan.Â
Mereka membuat jalur-jalur rahasia untuk kami. Semak-semak telah mereka bebaskan, orang-orang itu pun memotong kawat-kawat berbahaya yang berseliweran dan mengintai dalam semak belukar.
Setelah itu mereka tanami kembali pohon-pohon makanan kesukaan kami, menyambungkan kembali kantong-kantong hutan yang terputus.Â
Mereka adalah penjaga yang tak terlihat, yang bekerja dalam diam untuk memastikan peta lama kami tidak sepenuhnya hilang.
Mereka tidak memberi kami ikan, tapi mereka mengembalikan sungainya.