Mohon tunggu...
Ilham
Ilham Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dalang Cerita di Balik Kemelut Bangsa

31 Agustus 2016   00:37 Diperbarui: 31 Agustus 2016   01:36 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kekuasaan merupakan salah satu hal yang diidamkan oleh banyak orang. Pada dasarnya kekuasaan merupakan kekuatan yang didapat seseorang atau kelompok yang mendominasi suatu wilayah ataupun didapat dari legitimasi masyarakat. Dengan kekuasaan yang dimiliki, seseorang ataupun kelompok memiliki otoritas dalam menentukan langkah yang harus dijalani demi mencapai suatu hal yang diinginkan. Dengan kekuatan dari kekuasaan inilah, massa yang dipimpin akan tergerak dalam suatu proses serta rangkaian dalam rangka mencapai tujuan bersama.

Namun, hal ini acapkali menimbulkan berbagai polemik bagi masyarakat. Karena terkadang kekuasaan yang mengikat mereka juga sering tidak sejalan dengan apa yang dikehendaki masyarakat tersebut. Bisa saja karena adanya ketidakselarasan atau bahkan penyelewengan yang dilakukan oleh para penguasa atau pemimpin, maka terjadilah berbagai masalah dan beberapa diantaranya sampai menjadi kemelut bagi masyarakat di suatu daerah hingga suatu bangsa.

Ditengah gelora kemelut sosial yang melanda dunia, Korupsi merupakan salah satu dalang yang memainkan peran besar dalam memperkeruh keadaan. Tidak menutup kemungkinan bahwa korupsi telah mewabah disetiap era kehidupan manusia. Sejatinya berbagai macam penyelewengan yang sekarang lebih dikenal dengan istilah Korupsi telah ada sejak manusia mulai belajar hidup bersama komunitasnya.

Secara historis, runtuhnya VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) merupakan bukti nyata bahwa korupsi telah menjamur di Indonesia. Badan yang merupakan kongsi dagang Belanda ini telah lama berdiri dan berpengaruh besar terhadap peradaban bangsa Indonesia. Kuatnya monopoli serta militer VOC menyebabkan kongsi dagang ini sangat mempengaruhi perekonomian, sosial-budaya serta politik di Nusantara. Sehingga ketika VOC runtuh pada akhir abad ke-18 yang disebabkan oleh kasus korupsi, Indonesia yang waktu itu bernama Hindia Belanda turut terkena getahnya.

Salah satu bukti nyata penyelewengan yang terjadi pada masa itu ialah tingkah laku pejabat-pejabat VOC yang semakin feodal. Para Gubernur Jenderal seperti Henricus Z dan Jacob M, mengeluarkan ordonansi tentang tata cara penghormatan yang sungguh tidak menghormati nilai kemanusiaan pribumi serta ordonansi tentang kemewahan kendaraan yang diharuskan bagi pejabat. Perkara ini menunjukkan bahwa para pejabat VOC haus akan kehormatan dan ingin berfoya-foya, sehingga membebani anggarannya sendiri.

 Dengan mewabahnya virus korupsi dikalangan pejabat dan pegawai VOC, beban utang VOC semakin melambung tinggi hingga akhirnya bangkrut dan dibubarkan. Alhasil utang piutang peninggalan VOC diambil alih oleh pemerintah Kerajaan Belanda. Secara tidak langsung persoalan ini berimbas kepada masyarakat pribumi yang dibebani kewajiban untuk membayar hutang peninggalan VOC yang diwujudkan dengan diberlakukannya kerja rodi dan tanam paksa ditanah masyarakat sendiri. Hal ini menimbulkan efek domino yang menyebabkan serangkaian penderitaan serta kemelut bangsa Indonesia.


Korupsi seolah menjadi budaya yang diwariskan oleh VOC. Sungguh suatu ironi karena warisan budaya ini seolah dipelihara dan dilestarikan dengan baik oleh para Tikus berdasi hingga saat ini. Dari ilustrasi tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa penyelewengan seringkali dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan ataupun wewenang dalam suatu masyarakat, organisasi, instansi sampai pemerintahan.

Lalu, bagaimana dengan keadaan sekarang? Adakah kesamaan antara kejadian dimasa lampau dengan fenomena yang terjadi di Indonesia saat ini? Apakah kedudukan yang dimiliki didunia politik sering disalahgunakan? Apakah teori siklus berlaku pada fenomena korupsi saat ini, dimana dalam teori siklus keadaan tidak berakhir dalam proses yang sempurna, melainkan berputar kembali ketahap awal untuk peralihan selanjutnya.

Dewasa ini, dalam jurnal yang diluncurkan oleh Transparency International (TI) tentang Corruption Perception Index (CPI), referensi tentang situasi korupsi di Indonesia tercatat bahwa pada tahun 2014 skor CPI Indonesia sebesar 34 dan menempati urutan 107 dari 175 negara yang diukur. Tentu angka ini masih jauh dari kategori “Sangat Bersih” seperti yang dikategorikan dalam CPI oleh Transparency International, dengan indikator 0 (Sangat Korup) – 100 (Sangat Bersih). Bahkan dibandingkan dengan negara Asia lainnya, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki skor CPI terendah.

Sangat disayangkan, negara dengan ratusan juta penduduk yang mayoritasnya  berada dalam usia produktif dan dikaruniai sumber daya alam yang melimpah tidak bisa memaksimalkan pembangunan karena ulah para tikus berdasi.Semestinya di usia bumi khatulistiwa yang menginjak 71 tahun ini, kita tidak lagi bergulat dengan korupsi. Selayaknya manusia yang sudah berusia 71 tahun, bermain dengan cucu serta melihat anaknya menjadi orang yang sukses adalah aktifitas yang dilakukan sehari-hari. Demikian juga Indonesia yang seharusnya sedang menikmati kemakmuran dan kejayaan.

Hingga saat ini pun masih banyak kasus-kasus yang terungkap dan diberitakan diberbagai media massa. Tidak hanya kasus yang terbilang masih anyar, bahkan juga ada kasus lama yang baru terkuak dari serangkaian panjang pemeriksaan dan penyelidikan. Contohnya ialah ditanggal 22 Agustus 2016 KPK mengungkap kasus Sri Astuti, Komisaris CV Timur Alam raya terduga melakukan penyuapan terkait pengadaan pupuk urea di PT. Berdikari tahun anggaran 2010-2012. Dapat kita ketahui bahwa kasus ini merupaka salah satu kasus yang mengendap cukup lama hingga mengapung di permukaan media massa. Entah berapa kasus yang sudah terungkap dan tidak menutup kemungkinan bahwa bagai fenomena gunung es masih banyak kasus yang masih tersimpan dan menunggu untuk muncul diberita media selanjutnya.

Dalam pengusutan kasus korupsi, efek domino acapkali muncul dan turut mempengaruhi rantaikehidupan sosial masyarakat Indonesia dalam aspek Sosial-Budaya, Ekonomi serta Politik yang saling berhubungan dalam sebuah sistem kehidupan sosial.

Jika ditilik dari aspek Sosial-Budaya, dampak yang muncul ialah degradasi mentalitassertadegradasi integritas. Hal ini dapat dilihat dari maraknya kasus suap-menyuap, penyelewengan, serta ketidakjujuran yang terjadi di masyarakat, mulai dari anak muda hingga dewasa. Menurunnya mentalitas menyebabkan nilai integritas dikorbankan demi mencapai tujuan. Berbagai nilai serta norma masyarakat mulai mengalami pergeseran, hal-hal yang sebelumnya ditentang kini menjadi lumrah dalam kehidupan sosial masyarakat.

Jika dilihat dampaknya dari segi ekonomi, biasanya kasus-kasus korupsi ini terjadi pada penyelewengan anggaran-anggaran proyeksi yang menyangkut kepentingan umum. Anggaran yang diselewengkan ini sudah pasti menyebabkan begitu banyak kerugian bagi suatu daerah atau Negara yang nantinya juga berdampak langsung bagi kehidupan sosial.

Sedangkan dalam ranah politik, juga sering dihiasi dengan pemberitaan mengenai kasus korupsi ini. Seperti kasus ditangkapnya para petinggi Kemendag dalam kasus “dwelling time” di Tanjung Priok, kasus PTUN Medan yang menyeret Gubernur Sumut dan ternyata saat ini pun, kasus-kasus korupsi masih tetap berlanjut dan mulai bermunculan kepermukaan setelah tertangkap dan diusut oleh KPK. Namun yang pasti semua kasus ini sempat menjadi trending topic di media nasional serta di berbagai acara debat, tapi pada akhirnya publik hanya terombang ambing dengan berbagai kasus yang sampai sekarang belum menemui titik terang hingga akhirnya kasus tersebut hilang, seolah-olah tidak pernah terjadi.

Satu hal yang paling mendasar dari semua kasus penyelewengan ialah adanya dorongan nafsu. Sebuah keinginan kuat yang mendorong seseorang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan hidup yang diinginkan. Gaya hidup berfoya-foya diiringi dengan bertumbuhnya sikap prestis serta dampak globalisasi, merupakan kontributor terbesar dalam meningkatkan keinginan manusia akan hidup mewah. Globalisasi biasanya diiringi dengan modernisasi. Modernisasi inilah yang membawa pengaruh terhadap pola hidup konsumtif. Budaya hidup konsumtif mendorong seseorang untuk memiliki keinginan yang teramat banyak, bahkan sikap prestis akan hidup mewah membuat manusia tidak pernah puas dengan apa yang telah dimiliki. Kecenderungan hedon ini merupakan salah satu faktor utama penyebab para pejabat bertransformasi menjadi tikus-tikus berdasi.

Bila kita perhatikan pada setiap pemberitaan kasus korupsi, sebagian besar tersangka memiliki gaya hidup yang luar biasa wah. Hal ini dibuktikan dengan dimilikinya segudang aset berharga nan mewah serta barang bermerk mahal yang edisinya terbatas. Bahkan berdasarkan hasil penelusuran tim penyelidik kasus korupsi, ada beberapa oknum pejabat yang memiliki istri simpanan serta anak yang lahir dari hasil hubungan pernikahan tidak resmi, tentu saja kehidupan mereka harus dibiayai dan biaya ini tidaklah sedikit. Semakin banyak keinginan untuk memiliki harta, semakin besar pula nafsu yang menjerat para pejabat kedalam kubangan korupsi dan bertransformasi menjadi tikus-tikus berdasi. Besar pasak daripada tiang, peribahasa ini sangat cocok dipakai untuk mendeskripsikan fenomena ini.

Beranjak dari aspek sosial-budaya dan ekonomi, dari aspek politik para tikus berdasi ini memiliki wewenang serta kekuasaan yang biasanya mereka salahgunakan demi memenuhi nafsu hedonis pribadi. Kekuatan dalam berpolitik serta jabatan yang dimiliki, kerap kali menjadi senjata ampuh bagi para koruptor dalam melancarkan aksinya bahkan adapula yang membangun dinasti politik untuk mencapai serta memperluas ladang korupsi.

Artinya semakin banyak “orang dalam” di pemerintahan yang dipimpin tikus utama, maka semakin luas pula peluang untuk menyelewengkan serta melanggengkan pemerintahan yang dipimpinnya. Seperti yang terjadi pada kasus Ratu Atut Choisiyah yang sempat menggemparkan media nasional lalu, yang entah disengaja atau tidak, telah membentuk dinasti politik selama delapan tahun masa kepemimpinannya sebagai gubernur di Banten.

Sejak menjadi orang nomor satu di Banten, satu per satu anggota keluarga besar Atut masuk ke politik praktis. Diawali dengan kemunculan Airin Rachmi Diany (adik ipar Atut, dalam Pilkada Kabupaten Tangerang 2008) kemudian diiringi oleh beberapa anggota keluarga lain yang turut ambil bagian dalam pemerintahan di Banten. Baik dikursi eksekutif maupun legislatif. Ini merupakan contoh nyata dibangunnya dinasti politik di era sekarang.

Namun setelah delapan tahun berkuasa, keluarga Atut mulai tersandung kasus hukum dan goyah. Wawan (adik Atut, yang maju dalam pilkada calon wakil bupati mendampingi Jazuli Juwaini dari PKS) yang ditangkap KPK karena diduga menyuap Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar terkait sengketa Pilkada Kabupaten Lebak, 2 Oktober 2011 silam menjadi titik awal keruntuhan dinasti politik Atut. Atut diperiksa KPK sebagai saksi kasus dugaan suap sengketa Pilkada Lebak, hingga akhirnya Atut ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Selain itu terkuak pula kasus korupsi yang menyeret Atut dibawah penyelidikan KPK, yaitu kasus pengadaan sarana dan prasarana alat kesehatan Provinsi Banten pada 2011 – 2013.

 Dinasti politik dibangun dengan tujuan memperluas peluang serta mengukuhkan posisi keluarga mereka dalam lingkaran pemerintahan, seakan dinasti politik dibangun untuk melanggengkan kekuasaan mereka selama tujuh turunan. Jika ditilik lagi ternyata siklus kasus korupsi yang kita maksud diawal tadi berlangsung dalam dinasti ini.

Agar dapat menemukan solusi dari kemelut yang melanda bangsa, perlu kita pahami ujung tombak dari permasalahan ini. Setelah dikaji ulang, bahwasanya dalang kemelut bangsa ini dapat ditangani dengan menggunakan dua ujung tombak sekaligus. Seperti halnya membasmi rumput liar, tidak hanya memotongnya saja, tapi juga mencabut sampai ke akarnya tanpa menyisakan satu bibitpun. Demikian juga dengan korupsi, tidak hanya membasmi, kita juga melakukan tindakan pencegahan serta membabat habis bibit-bibitnya.

Sebagai bangsa, kita perlu belajar dari budaya yang selama puluhan tahun dijaga oleh bangsa Jepang yaitu budaya malu, pantang menyerah, berani mati dan etika jabatan. Contohnya sangat tampak pada kasus pengunduran diri Menteri Pertanian Jepang, Tadamori Oshima. Meskipun beliau tidak terlibat secara langsung dalam kasus skandal keuangan yang dilakukan oleh sekretarisnya, beliau tetap memilih mengundurkan diri. Beliau merasa malu karena didalam kementerian yang beliau pimpin telah terjadi kasus korupsi.

Bila kita mulai menanamkan budaya seperti ini dalam kehidupan sosial, bukan tidak mungkin korupsi dapat kita minimalisir atau bahkan kita musnahkan. Bertanggung jawab terhadap jabatan, pantang menyerah menghadapi rintangan, malu melakukan tindakan yang tidak terpuji seperti korupsi dan rela berkorban untuk kepentingan yang lebih besar yaitu kepentingan bangsa dan Negara, merupakan senjata ampuh untuk menangani dalang kemelut bangsa ini.

Maka dari itu, sasaran utama dalam pencegahan tindakan korupsi lebih ditujukan pada generasi muda. Dengan membangun serta memperkuat nilai mentalitas dan integritas pada generasi muda, akan terbentuk karakter yang tangguh dalam menghadapi dan mengatasi permasalahan yang terjadi. Doktrin ataupun isu negatif yang dapat menurunkan mentalitas dan berujung pada pengorbanan integritas, dapat ditangkis dan diatasi. Pasalnya pembangunan mentalitas turut membangun kepercayaan diri dalam individu untuk mengatasi masalah. Alhasil nilai integritas pun turut dipertahankan.

Lingkungan keluarga serta sekolah, merupakan dua tempat yang berperan penting dalam membentuk karakter seseorang. Penanaman nilai-nilai kejujuran yang sering ditekankan dalam agama di lingkungan keluarga, menjadi salah satu cara untuk membentuk karakter manusia yang berkualitas. Pasalnya dewasa ini nilai-nilai agama tidak lagi dijunjung tinggi, bahkan mendekati sekulerisme. Maka dari itu, bimbingan ini perlu ditingkatkan untuk mencapai tujuan pembangunan karakter individu yang berkualitas dan anti-korupsi. Dengan mentalitas kejujuran yang kuat, maka korupsi tidak akan mengalami siklus seperti sebelumnya.

Mengajarkan nilai-nilai kejujuran dan tanggung jawab hendaknya lebih diutamakan daripada menyebarkan hal-hal negatif, seperti menyebarkan kabar-kabar yang menakuti generasi muda. Tentu, hal semacam ini tidak akan memberikan hasil yang baik terhadap masa depan bangsa. Maka dari itu, orang tua, keluarga, guru-guru dan semua lapisan masyarakat hendaknya turut serta dalam menghentikan dan membasmi para pelaku penyebar doktrin serta isu negatif di masyarakat.

Kemudian dalam langkah pembasmian korupsi, ditujukan pada penanganan hukum terhadap pelaku. Instrumen hukum dalam pemberian sanksi terhadap pelaku harus dipertegas lagi, artinya hukuman yang berat harus dijatuhkan agar menimbulkan efek jera terhadap pelaku dan masyarakat luas sehingga dapat mengurangi kemungkinan timbulnya pelaku baru.

Pemerintah yang dalam hal ini memiliki kebijakan untuk memperkuat instrumen hukum dapat bersinergi dengan para ahli dari akademisi maupun profesional dibidangnya. Berbagai riset pun bisa diberi dukungan penuh untuk mempelajari fenomena ini.

Korupsi adalah masalah besar bagi semua negara. Budaya peninggalan VOC ini harus kita hancurkan, kalau tidak maka seperti virus yang menggerogoti tubuh inangnya hingga hancur. Begitu pula korupsi yang akan terus menggerogoti bangsa hingga hancur seperti yang terjadi pada VOC dimasa lampau. Tentu kita tidak menginginkan siklus tersebut terjadi di tanah zamrud khatulistiwa ini.

Skor CPI Indonesia yang mengalami peningkatan dari tahun 2013 (dengan skor 32) sampai 2015 (dengan skor 36) merupakan bukti bahwa masih ada harapan bagi bangsa dalam upaya pemberantasan korupsi Indonesia. Walaupun terbilang masih lambat peningkatannya, namun optimisme untuk meningkatkan kinerja yang baik dalam penanganan Korupsi bagi lembaga-lembaga seperti KPK, Polri, serta para regulator negara. Artinya masih ada secercah harapan bagi bangsa Indonesia untuk membenahi permasalahan kemelut bangsa ini.

Maka dari itu, sinergi seluruh lapisan masyarakat serta pemerintahan hendaknya memberikan kontribusi yang masif terhadap upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Dengan membudayakan sikap positif dalam kehidupan sosial masyarakat, penanganan yang tidak pandang bulu serta semakin banyaknya dukungan dari berbagai elemen, maka semakin meningkat juga kinerja dalam memberantas korupsi. Bukan hal yang mustahil bagi kita untuk menuju masa kejayaan layaknya Majapahit dan Sriwijaya dahulu.

Demikianlah, paragraf demi paragraf yang telah saya sampaikan beserta benang merah dan ujung tombak masalah yang diperbincangkan. Dengan sepenuh hati dan cucuran keringat, saya berharap bahwa ide saya dapat mewakilkan semua keluh kesah dan membuka perspektif kita dalam menilik permasalahan ini.

Daftar Pustaka

Kemendikbud. 2014. Sejarah Indonesia Kelas XI Semester 1. Hal.30 – 31. Pusat Kurikulumdan Perbukuan, Balitbang, Kemendikbud, Jakarta.

Kun. Juju Suryawati. 2007. Sosiologi untuk SMA dan MA Kelas XII 3, Teori Utama Pola Perubahan Sosial, hal.7. Erlangga, Ciracas, Jakarta.

Liputan6. Ditahan KPK, Komisaris CV Timur Alam Raya Tutupi Wajah.

Kompas. Dinasti Politik Ratu Atut Setelah Delapan Tahun Berkuasa

Anti-Coruption Clearing House.Rekapitulasi Penindakan Pidana KorupsiRedaksi ACCH

Suara Merdeka. Belajar Budaya Malu dari Jepang.

Nama               : ILHAM

Kelas               : A (Indralaya)

NIM                : 07041281621067

Mata Kuliah    : Sistem Politik

Jurusan            : Ilmu Hubungan Internasional

Fakultas           : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Dosen              : NUR ASLAMIAH SUPLI, BIAM, M.Sc

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun