Ada satu orang di desaku yang katanya keramat. Dia sangat dihormati. Barang siapa yang melawannya maka akan kualat.
Mulanya, aku percaya. Tapi ketika usiaku beranjak, aku paham bagaimana pria bernama Ki Bodong itu adalah orang tak beres. Aku tak perlu cerita bagaimana ketidakberesannya. Aku mengetahui dengan mata kepalaku sendiri tentang ketidakberesan Ki Bodong, tapi aku tak ada bukti.
Sejak aku sangsi padanya, sejak saat itu pula hasratku untuk melawannya makin besar. Suara-suara tentang kualatnya orang-orang pada Ki Bodong diumbar beberapa orang saat kumpul-kumpul di kampung.
"Ki Bodong adalah orang suci. Maka jangan main-main. Banyak yang melawannya akhirnya kualat. Nardi misalnya, dia sekarang kena stroke. Hanya sehari setelah dia melawan Ki Bodong dengan kata-kata," ujar Samsu, orang yang cinta pada Ki Bodong.
Jika aku raba, seperti ada cara yang sistematis untuk membangun citra istimewa pada Ki Bodong. Samsu sering berbicara tentang keramat Ki Bodong untuk wilayah desa bagian utara. Karmo di bagian selatan, Darsun di bagian timur, dan Mardani di bagian selatan.
"Bu Sumi, langsung jatuh sakit tak bisa berdiri ketika bicara buruk terkait Ki Bodong," kata Darsun di sebuah kesempatan.
Banyak yang sakit dan dikaitkan dengan kekeramatan Ki Bodong. Mardani juga bicara tentang kebersihan hati Ki Bodong. Dia bicara saat nongkrong di gardu. Aku ada di situ, hatiku terkekeh. Kemudian aku tanya.
"Apa buktinya jika mereka kualat. Mereka semua sakit. Kebetulan saja sakitnya kamu kaitkan dengan Ki Bodong," kataku pada Mardani.
Mardani yang merasa terpojok, langsung memperingatkanku. "Hati-hati kalau bicara. Kau perlu minta maaf pada Ki Bodong. Kalau tidak, kami bisa kena celaka," katanya di hadapanku.
Tentu aku hanya cengar-cengir. Aku tahu kebusukan Ki Bodong. Aku meyakini, sakit ya sakit saja. Tak perlu dihubungkan dengan Ki Bodong.
Aku tak ambil pusing dengan ucapan Mardani. Di situ ada beberapa orang yang mendengarkan pembicaraan aku dan Mardani. Mereka bisa jadi saksi apakah aku akan tumbang setelah aku hanya mempertanyakan "keistimewaan" Ki Bodong.
Dan semua seperti menjadi kaitan yang makin kuat. Sebab, sehari setelah perbincanganku dengan Mardani, kepalaku serasa berputar. Orang bilang vertigo. Aku tak bisa beraktivitas, hanya ada di tempat tidur.
Dari situlah, istriku menyaring cerita yang berkembang bahwa aku kualat pada Ki Bodong. Tentu saja aku tak percaya. Jika pun aku vertigo, ya karena sakit saja.
Aku tak percaya pada soal kualat itu bukan karena aku tak percaya tentang kualat. Aku percaya bahwa kita bisa kualat pada orangtua kita. Tapi, aku tak percaya bahwa orang sebusuk Ki Bodong bisa membuat orang lain kualat. Aku tak percaya.
Sepekan aku tak bisa apa-apa. Aku sudah ke dokter dan mengonsumsi obat. Aku yakin aku akan sembuh. Dan memang sepekan lebih dua hari, aku sembuh.
Bukan hanya aku yang sembuh. Orang-orang yang dituduh kualat pada Ki Bodong juga sembuh. Semua sembuh dan bisa kembali beraktivitas. Mungkin Nardi yang aktivitasnya belum selancar sebelumnya. Tapi dia sudah bisa beraktivitas.
Setelah kami yang semua dituduh kualat itu sembuh, Ki Bodong malah ambruk. Dia sakit entah apa. Tapi kabarnya sudah tidak bisa bangkit dari kasur.
Aku bisa saja membalikkan cerita dan mengatakan bahwa Ki Bodong kualat pada kami. Aku bisa saja berkoar bahwa kamilah yang benar dan Ki Bodong bermasalah. Tapi aku juga perlu adil.
Aku yakin bahwa Ki Bodong sakit bukan karena kualat pada kami. Lagipula, kami adalah orang-orang yang juga banyak salah. Ki Bodong sakit karena memang ada yang bermasalah dengan kondisi tubuhnya, bukan karena kualat.
Sejak Ki Bodong sakit, semua orang yang mengatakan bahwa Ki Bodong keramat sudah jarang muncul di tongkrongan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI