Mohon tunggu...
rokhman
rokhman Mohon Tunggu... Freelancer - Kulo Nderek Mawon, Gusti

Melupakan akun lama yang bermasalah

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Dana Desa, Alokasi Dana Desa, Pemicu Korupsi

17 September 2021   09:26 Diperbarui: 17 September 2021   09:57 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi. Grafis: KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo

Dua di antara sumber pendapatan desa adalah dana desa dan alokasi dana desa. Sumber dana itu rawan dikorupsi. Ada beberapa pemicu mengapa korupsi di desa bisa terjadi.

Ada perbedaan antara dana desa dan alokasi dana desa. Sederhananya, dana desa adalah dana untuk desa yang bersumber dari pemerintah pusat. Sementara, alokasi dana desa adalah dana untuk desa yang bersumber dari pemerintah kabupaten atau kota.

Contoh konkretnya misalnya Desa Kalipelus, Kecamatan Purwanegara, Kabupaten Banjarnegara. Maka Desa Kalipelus akan mendapatkan dana desa dari pemerintah pusat dan mendapatkan alokasi dana desa dari Pemerintah Kabupaten Banjarnegara.

Lalu, berapa dana desa dan alokasi dana desa yang didapatkan tiap desa? Jawabannya adalah tidak seragam.

Nah, dengan adanya dana desa dan alokasi dana desa, maka keuangan desa bertambah. Sekadar diketahui, dana desa baru muncul setelah adanya UU Desa tahun 2014.

Kemudian, ketika fenomena keuangan desa berlimpah, ternyata korupsi juga berlimpah. Saya ambil data 2019 saja seperti dibeberkan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang diberitakan kompas.com.

Tahun 2019, ada 46 kasus korupsi terkait anggaran desa. Kerugian dari 47 kasus itu adalah Rp 32,3 miliar. Jumlah kasus korupsi di desa pada 2019 adalah yang paling tinggi daripada sektor lainnya.

Lalu, apa yang membuat korupsi bisa terjadi di desa? Tentu butuh penelitian mendalam untuk menjawabnya. Tapi secara kasat mata, beberapa hal ini saya duga jadi pemicu munculnya korupsi.

Sekali lagi, yang perlu saya tekankan adalah, ini dugaan saya. Artinya, bisa saja apa yang saya tulis, secara faktual pada sebuah desa tertentu tidak menjadi penyebab kasus korupsi.

Pilkades Biaya Tinggi

Beberapa fenomena yang saya ketahui, pemilihan kepala daerah ternyata berbiaya tinggi. Khususnya bagi para calon. Mereka harus merogoh kocek dalam-dalam.

Misalnya, dua bulan atau malah lebih lama lagi, para calon kepala desa sudah membuka rumahnya lebar-lebar. Di masa itu, akan ada beberapa warga yang nongkrong di rumah calon kades.

Ada yang hanya sekadar nongkrong atau ada juga yang mempersiapkan strategi pemenangan. Anda tentu tahu, membuka rumah lebar-lebar berarti juga menyiapkan dana. Tak mungkin ada 20 warga malam hari berada di rumah calon kades, tak diberi minum.

Tak hanya minum. Si calon harus menyiapkan makanan, bahkan tembakau. Fenomena itu terjadi tanpa henti dalam rentang dua bulanan atau malah lebih, sebelum pencoblosan.

Bayangkan berapa duit yang harus dikeluarkan. Saya pernah dengar desas desus bahwa ada seorang calon kades yang keluar uang sampai ratusan juta rupiah.

Bayangkan saja, hasrat jadi kades harus keluar duit ratusan juta rupiah untuk ongkos politik. Apakah setelah jadi mereka tak akan punya niat mengembalikan modal?

Apakah fenomena nongkrong dan membuka rumah itu adalah fenomena pasti di setiap jelang perhelatan pilkades? Saya tak tahu. Bisa saja ada daerah yang tak seperti itu.

Tapi, bagi desa dengan tradisi buka rumah lebar-lebar, tentu akan sulit menghilangkan tradisi itu. Masyarakat akan bernyanyi jika ada calon kades yang diem diem bae.

Perangkat Adalah Uang

Perangkat desa dimaknai oleh sebagian warga sebagai sumber uang. Contoh saja saat hajatan. Perangkat akan secara khusus memberikan amplop pada yang punya hajatan. Nah, pasti akan ketahuan berapa uang yang diberikan.

Kalau ketahuan memberi uang sedikit, maka sebagian warga akan bernyanyi. Ingat ya, sebagian warga, bukan semua warga. Memang, pemimpin oleh sebagian masyarakat kita dimaknai sebagai sumber uang.

Tentu ini jadi ongkos sosial yang besar. Jika sudah seperti itu, apakah mereka tak berniat untuk menambah duit dari korupsi? Ya tak tahulah.

Tak Paham

Lima tahun lalu, saya secara tak sengaja sedang berada di sebuah acara hajatan. Tak sengaja pula saya ngobrol dengan orang di samping saya. Ternyata dia adalah seorang camat.

Kami ngobrol tentang beberapa hal, termasuk desa. Dia mengaku lelah ketika berurusan dengan perangkat desa yang tak paham penganggaran dan pelaporan keuangan.

Ya tentu tak semua desa seperti itu. Tapi ada desa yang sumber dayanya masih kurang. Nah, kalau tak paham penganggaran, bisa jadi serampangan memakai anggaran. Akhirnya malah jadi petaka.

Tapi untuk hal ini bisa diatasi dengan memasifkan pemahaman penganggaran pada aparat desa.

Kemaruk

Kalau ini memang mentalitas personal yang bermasalah. Banyak atau sedikit dana desa, maka  tetap kemaruk dan ambil duit desa. Jadi sulit diantisipasi, paling ya langsung diproses hukum saja.

Lalu?

Sekalipun ada korupsi, bukan berarti dana desa atau alokasi dana desa disetop. Sebab, sumber keuangan itu jika diolah dengan baik bisa memakmurkan desa.

Yang mungkin bisa dilakukan adalah mekanisme hukuman. Desa yang bermasalah dalam mengelola dana desa atau anggaran dana desa, dihukum dengan mengurangi jatah anggaran di tahun berikutnya. Tapi tentu saja mekanisme ini harus sangat transparan. Sehingga bukan jadi ruang bagi pihak lain untuk memeras desa.

Sekian saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun