Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Luka] Hukuman Lelaki Jalang

11 November 2018   03:00 Diperbarui: 11 November 2018   04:50 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.comicartfans.com

Aku masih bisa merasakan luka sayatan yang kau derita.

Luka yang kuberikan saat kau mencoba berontak dari nafsu liarku. Aku bertekad akan terus mengurungmu. Hingga apa yang menjadi hasratku bisa terpuaskan. Menuju puncak kenikmatan kala kau mengerang kesakitan terdengar lembut di telingaku. Seakan terus berbisik agar ku bisa berbuat lebih.

Kau tahu, sebagai lelaki sejati, kau tak sepantasnya mendapatkan ini. Puja-puji, apresiasi, dan kebanggaan dirilah yang seharusnya menancap di ragamu. Bukan hinaan sampah macam ini. Hinaan yang akan membuat lelaki manapun tak terlihat sedikit saja kejantanannya. Lemah tak berdaya.

Kau sesungguhnya memang lelaki sejati. Seragam kebesaran kau punya. Setiap detak waktu adalah gelaran kebanggaanmu. Tak sejengkal pun dari tubuhmu yang terlihat cacat. Tebaran pesona selalu kau berikan. Pada para jelita yang akan dengan mudahnya kau hina. Yang kau campakkan kala tak ada lagi pesona di tubuh mereka.


"Lepaskan aku, kumohon.. "


Suara lirih itu terdengar bagai musik yang kugemari. Candu saat pikiran liar ini menyibak masa lalu. Tahukah engkau, aku tak pernah mengucapkan itu. Kau ingat seharusnya aku mengatakan itu ketika nafsu liarmu menelanjangi tubuhku. Saat caci maki, sumpah serapah, dan panggilan tak pantas menghujam di sanubariku.

Aku tetap diam. Aku tetap mencoba tak menghiraukan. Meski bara dendam semakin lama semakin kusimpan rapat, tapi ia kian menganga mengikuti usiaku yang menua. 

Ia tak seperti anak kecil yang bisa kau suap dengan gula-gula. Tidak, ia akan semakin subur kala pupuk yang membuatnya bersemai tetap ada. Dan pupuk itu adalah perlakuan hina yang kau perbuat sejak dahulu kala.

Kueratkan tali pengikat tanganmu. Kuhirup wangi lelaki sumber pesona sejuta wanita. Wangi busuk yang bagiku sama saja dengan kerubungan lalat berebut seonggok roti yang berjamur. Bau itu memang busuk. 

Tapi itu adalah bau kemenanganku. Bersama kucuran keringat yang keluar dari dahi dan lehermu, ia adalah tropi yang berhasil kuraih. Tropi dari seseorang sepertimu yang dulu tak hentinya mengejekku.


"Dasar culun!"

Kau ingat nyanyian sumbang itu? Nyanyian yang terus bergemuruh kala kita bertemu. Mengikutiku tanpa ampun hingga aku pun tak tahu harus bersembunyi ke mana lagi. 

Aku tak tahu kepada siapa aku bercerita, berlindung, dan mendapatkan kembali kemerdekaanku. Bagiku saat itu kau sama saja menjajahku. Jajahan verbal yang tak sejengkal pun memberikanku kebebasan.
Timbunan luka ini terbayar sudah. 

Kini kau berbalik jadi budakku. Tapi bukan budak cinta layaknya para wanita korban jeratan nafsumu. Aku masih lelaki normal yang bertekad menghentikan kebengisanmu pada mereka.

Kau tahu, saat mereka menangis mengadu kepadaku, saat itulah naluri lelakiku muncul. Naluri yang terpendam lama dari luka yang paripurna. Kau seharusnya sadar mereka tak sekuat kita. 

Kaupun seharusnya sadar mereka terbuat dari gelas kaca yang mudah pecah. Bukan sekuat baja layaknya kita. Segores saja luka yang kaucoba tanamkan pada mereka, goresan luka lain akan terus melebar.

Kumainkan rambutmu yang seperti gelar mahkota. Masih basah oleh jelaga rambut, mahkota itu kurusak sedemikian rupa hingga tak lagi berbentuk. Sama tak berbentuknya dengan mahkota para wanita malang itu.

Kalau aku menuruti egoku, luka di tubuhmu akan semakin tak terperi. Lebam di wajahmu akan semakin berwarna. Kalau saja nafsuku tak terkendali, tulang belulangmu bisa saja remuk. Tapi aku tak sebengis yang kau kira. Bisa memenangkan pertarungan satu lawan satu denganmu aku sudah puas.

Bisa mendengar rintihan luka dan permohonan ampun bagiku sudah cukup. Sudah impas dengan apa yang didapat oleh para wanita malang itu. Yang menjerit dan terus merintih kesakitan akibat ulahmu. Yang lukanya tergores oleh lelaki jahanam macam dirimu.

*Karya seorang lelaki yang pertama kali ikut even fiksi. Harap maklum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun