Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Teror Makanan Cepat Saji di Sebuah Sekolah Dasar

22 Mei 2018   20:30 Diperbarui: 22 Mei 2018   20:46 838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hanya Ilustrasi, jangan diambil hati. Dokumen Pribadi.

Suatu sore. 16.15 WIB.

Di ruang TU sekolah.

"Jeng, jadi buka pakai apa?" tanya saya kepada tiga guru muda yang sejak pagi melakukan input PPDB. Hanya tinggal kami berempat.

"Gimana kalau Padang, Jeng. Kok lagi ingin yang pedas-pedas," seru Bu Amel. Guru Kelas 1 sambil mengecek kembali Data Pribadi siswa.

"Jangan, Jeng. Berat di ongkos. Pak Bos kan cuma kasih segini. Mana cukup?" kata Bu Desti, Guru Kelas 2 yang begitu perhitungan dengan anggaran makan.

Satu guru lagi masih tak bergeming. Saya mencoba mencari pendapatnya. Biasanya beliau yang paling bijak. Maklum, paling "senior".

"Jeng, Ris. Gimana kita-kita ini. Jadi dapat asupan gizi apa?"

Yang ditanya masih sibuk. Menatap laptopnya. Penasaran, saya melihat apa yang sebenarnya ia kerjakan. Eh ternyata, beliau juga sedang memikirkan apa yang akan kita makan. Sebuah kata kunci pencarian di Google,"100 tempat buka puasa murah di Malang" pun terketik.

"Kita ke sini saja," tiba-tiba tetua adat bersabda.

Saya melihat sebuah warung lalapan di sebuah jalan entah di mana, di layar monitor Notebook Guru Kelas 3 ini,

"Waduh, jeng. Maharani itu. Coba cek deh, berapa rupiah bensin kalau ke sana. Terus, lalapan ayamnya pasti masih di atas 10K. Belum lagi antrenya. Yang lain dong!" seru Bu Desti.

Duh, saya jadi bingung. Di depan sekolah ada sih orang jual tahu telur. Tapi, ya kok kurang sreg makan berpetis. Takut mag kambuh.

"Jeng, kalau kita makan di rumah masing-masing aja gimana?" tiba-tiba aku mendapat ide. Pasti emak sudah masak sayur asem yang enak. Duh, tinggal sekitar 3600 detik lagi.

"Ya, situ enak rumahnya dekat. Lha kita jeng. Bisa-bisa maghrib baru sampai," kata Bu Desti.

Saya cuma nyengir. Harap maklum, warga Malang Coret. Alias, kabupaten.

"Jeng, ke Mall aja yuk. Beli paket pahe berdua di XXXFC. Nanti piringnya minta empat. Kan lumayan. Ngirit", tiba-tiba Bu Amel memiliki ide aneh.

"Bentar. Beli pahe berdua 50 ribu. Satu orang jadi 12 ribu setengah. Yah, sama Padang dong. Belum ongkos parkir. Coret!" Bu Desti nyeletuk.

Saya jadi tak bersemangat. Entahlah, yang jelas kurang beberapa anak lagi selesai. Kembali fokus memasukkan satu per satu data siswa yang tak terasa mencapai 200 anak. Maklum, sekolah elit. Yang mendaftar banyak.

OSVALDO MORINO ETHANUSIA

Eh, ini anak kok pingin bunuh diri ya. Saya jadi ngeri. Gimana bapak emaknya cari wangsit buat nama ini anak.

VERONIKA OSHINORA CHANDRAPERMATA

VOC. Ajegila. Ini doa anaknya jadi kompeni apa gimana. Lama-lama saya kok tambah ngeri kalau memasukkan nama siswa sekarang. Tak ada lagi ketikan tangan semudah nama PAIJO atau ATUN. Ah sudahlah. Yang jelas ini jadi buka dengan apa?

16.30

"Jeng, gimana. Apa kita jadi ke Finlandia?" saya lalu bertanya kembali.

"Ngapain? Mending ke Australi!" seru Bu Amel.

"Kalau mau ke Australi. Jam tiga tadi udah buka. Lah ini kok, tanda-tanda ikutan puasa Finlandia ya," saya tiba-tiba kok jadi sewot.

"Ya wes. Beli roti di Maret depan aja. Lumayan loh buat menggenjel perut," kata Bu Riska, tetua adat.

"Duh, gini ya nasib honorer. Tetep dari jaman Jepang," kata Bu Desti tiba-tiba.

"Kalau Jepang, namanya Keibodan," sungut saya. Tak mau ikut ngersula. Tapi ya dipikir ngenes juga. Uang segitu, mana cukup buat buka puasa? Heuheu.

CANDY FETTUCINIA RAVIOLIA

Aduh, nama anak ini kok Pizza sekali. Beli satu set pizza enak ini. Lima puluh ribu cukup tak ya.

"Kalau ke restoran cepat saji, pasti nanti ada diskon takjil!" tiba-tiba Bu Amel menyeletuk.

"Paling cuma dapat puding. Kecil lagi. Seharga parkir," kata Bu Desti. Duh ini orang perhitungan sekali.

"Terus, jeng. Ini jadi gimana?" Pertanyaan saya ulang terus. sudah pukul 17.00 tepat. Buka kurang 20 menitan.

"Oke, kita break dulu. Sambil berpikir mau makan apa," kata sang tetua adat.

"Padang coret, XXXFC coret. Lalapan coret. Lah, yang bisa dibeli ya tahu telur depan itu," kata Bu Amel.

"Ya sudahlah, jeng. Nasib kita ya. Dua hari buka sama tahu telur terus," kata saya seraya tersenyum sinis. Nasib honorer oh honorer. Saya lantas agak gonta menuju dapur.

"Mau ke mana jeng?" tanya Bu Desti.

"Ke dapur ambil piring. Aku mau buka di Indonesia saja. Finland kejauhan jeng."

"Hahahahaha," mereka semua tertawa.

Belum langkah saya menuju dapur usai, saya melihat seorang pria dengan seragam XXXFC yang khas menuju ruang TU.

"Permisi. Ini SD WWW ya. Apa benar ada yang namanya Bu Amel, guru kelas 1?" tanyanya.

Saya memandang takjub ke sosoknya yang seperti pahlawan super. Dua tas keresek dengan dua nasi kotak, dua puding, dan dua minuman float. Duh, rezeki anak sholeh.

"Wah betul, betul mas. Itu orangnya!" saya lantas bersorak sambil menunjuk Bu Amel. Yang saya tunjuk bingung dan menghampiri kami di pintu ruang TU.

"Ada apa ini?" tanyanya.

"Ini Bu Amel ya. Ada kiriman makanan. Tolong diterima ya!" kata pria itu sambil menyerahkan seperangkat makanan cepat saji.

"Duh, terima kasih, Mas." Katanya. Saya juga mengucapkan termakasih.

Eh tapi, si pria tak kunjung pergi.

"Loh, ada apa, Mas?" tanya saya.

"Uangnya, Pak. Totalnya sembilan puluh dua ribu lima ratus ribu rupiah," katanya singkat. Padat, dan ringkas.

"Apaaaaa?" kami berdua berteriak. Dua orang di dalam jadi kaget.

"Eh, sebentar ya, Mas. Sampeyan duduk dulu!" saya mempersilahkan Masnya duduk. Aduh, kok menjadi seperti ini.

Kamipun bercerita kepada dua rekan lain dan sama-sama bingung. Apalagi itu tanggal tua.

"Jeng, gimana. Bayar pakai apa?" kata Bu Amel. Ia jadi merasa bersalah tapi bingung juga.

"Waduh, jeng. Kartu kreditku lagi macet nih," saya berdiplomatis. Eh maaf, guru honorer juga perlu kartu kredit dong.

"Hmm, apa pakai uang amal anak-anak dulu ya. Ada sih di kelas,"kata Bu Desti.

"Jangan. Dosa itu dosa. Kita cari uang-uang terakhir di dompet dan tas ya," kata Bu Rizka. Benar, guru tak boleh korupsi.

Seribu, lima ribu, dua ratus, seratus. Kami mengumpulkan uang recehan. Alhamdulillah, pas sesuai dengan jumlahnya. Kurang lima ratus rupiah tapi tiba-tiba kami nemu uang lima ratus rupiah di dekat meja TU. Alhamdulillah.

"Makanya, kalau kerja yang ikhlas. Endingnya jadi begini kan?" kata tetua adat. Kami semua tertawa terbahak-bahak.

Ongkos pun kami bayar. Sebelum masnya pulang, saya penasaran siapa yang memesan makanan tersebut. Ternyata........

Keesokan harinya

Seorang anak siswa kelas 4 dipanggil ke ruang Kepala Sekolah. Nomor ponsel pemesan makanan di XXXFC yang saya dapat berhasil dilacak dan ternyata milik nenek sang anak tersebut. Ia memang tinggal dengan neneknya saja dan cukup memiliki kenakalan yang lumayan karena kedua orang tuanya bercerai. Yang lucu, apa alasan ia memesan makanan untuk Bu Amel?

"Saya ngefans sama Bu Amel. Kasihan lihat beliau ngelbur terus sampai sore. Makanya, saya pesan makanan yang enak,"

Hmm, mulia juga ternyata. Tapi, bagaimana tanggapan pembaca?

Yah beginilah kehidupan guru-guru honorer muda. - Dokumen Pribadi
Yah beginilah kehidupan guru-guru honorer muda. - Dokumen Pribadi
Sila berkomentar ya. Oh ya, ada yang tahu Bu Amel yang mana? Pasti bukan yang berkacamata, hehe. Bisa dijawab loh. Ada hadiah dari saya bagi yang benar dan beruntung. Sepaket makanan cepat saji paling enak. Bagi yang beruntung, akan saya pesankan ke restoran cepat saji di kota masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun