"Ibu nggak bisa menentukan, tapi Ibu tahu kadang yang terlihat aman belum tentu membawa kita dalam kedamaian. Dan yang terlihat penuh resiko, belum tentu tidak memberi kebahagiaan."
Jaya mengangguk perlahan, di benaknya kata-kata wanita yang paling dicintainya itu berputar seperti jarum kompas. Ia mulai menimbang lebih dalam, bukan hanya dari segi modal, resiko atau kegagalan tapi tentang jati diri. Apa yang sebenarnya ia cari dalam hidup ini.
Ia menulis pada buku catatan, coretan yang hanya Jaya sendiri tahu arahnya akan ke mana.
'Apakah aku ingin punya bisnis sukses? Ya. Tapi lebih daripada itu, aku ingin menjadikan bisnis ini cermin atas nilai-nilai yang kupercayai. Kejujuran, kedekatan dan ketulusan. Bisa jadi, aku mungkin akan gagal, tapi jika kegagalan itu hadir sebab mengikuti kata hat8 setidaknya aku gagal sebagai diriku sendiri.'
Suatu malam, Jaya kembali bertemu dengan Rio, duduk di kedai kopi yang ramai dan mengobrol sesantai dulu.
"Aku sudah pikirkan tawaranmu, Rio. Dan aku benar-benar menghargainya, tapi aku rasa untuk sekarang... aku ingin mencoba dulu sendiri," ucap Jaya pelan tapu mantap.
Rio terdiam sebentar, lalu mengangguk. "Aku sudah menduga kamu akan mengatakan seperti itu."
"Kenapa?" tanya Jaya, sedikit terkejut.
"Kamu selalu seperti itu sejak jaman sekolah, nggak suka jalan pintas dan sesuatu yang instan. Bahkan jika itu lebih mudah, kamu suka luka yang bisa kau pahami daripada suka yang bukan berasal dari diri sendiri."
Mereka tertawa kecil, tak ada kemarahan di wajah Rio setelah mendengar keputisan Jaya. Mereka pun berjabat tangan, denhan pelan Rio berujar. "Kalau suatu saat kamu butuh bantuanku, kamu tahu ke mana harus datang, 'kan."
***