Di sebuah kota kecil yang hangat, tapi sedang menggeliat dengan perkembangan ekonominya belakangan ini. Tinggal seorang pria dengan sosoknya yang sederhana, lulusan Industri yang sejal lama bermimpi ingin memiliki usaha sendiri. Jaya.
Sejak kecil, ia terpesona oleh cara ayahnya berdagang di pasar. Memilih bahan terbaik, menata dengan rapi dan melayani tanpa lepas senyum dari wajahnya.Â
Sekarang, bisnis justru lebih banyak bergerak di balik layar digital, itulah medan baru yang ingin Jaya taklukkan.
Warung kopi atau biasa dikenal senagai Coffee Shop, bergaya modern yang tidak hanya menjual minuman tapi juga pengalaman. Tempat bagi orang-orang duduk berbincang atau bekerja, ia telah menyiapkan konsep, lokasi dan bahkan punya nama untuk usahanya. A Whises Cafe.
Baginya, setiap cangkir kopi menyimpan cerita, ia ingin menciptakan tempat bagi kisah-kisah itu tumbuh. Namun, saat semua tampak hampir siap, datanglah Rio. Teman lama dari bangku sekolah, membawa tawaran yang mengguncang. Dia adalah pria cerdas, penuh semangat dan kini telah sukses merintis stsrt up logistik. Ia ingin melebarkan sayap untuk membuka lini usaha kuliner sebagai bagia dari ekspansi. Ia butuh mitra, jelasnya ia membutuhkan Jaya.
"Daripada mulai dari nol, kenapa nggak ikut aku aja?" ujar Rio, sambil menyodorkan presentasi di laptopnya. "Modal sudah aman, tim pun ada dan siap membantu. Kau tinggal bawa konsep dan kita lakukan kolaborasi."
Jaya diam, menatap layar yang disuguhkan di hadapan. Di sana sudah tertera nama besar Rio, rencana rinci dan strategi pasar menjanjikan. Namun, entah mengapa hatinya terasa jauh, seperti berdiri pada sebuah jalan bercabang. Ia menatap dua jalur yang sama-sama menjanjikan tapi berbeda dalam rasa dan riuh.
Waktu terus berlalu, Jaya menghabiskan detik demi menit lebih banyak di bangku taman. Ia merenung, mencoret buku catatan yang menjadi tumpahan segala rasanya. Ia pun bawa pada sang ibu, satu-satunya orang yang sekarang dimiliki.
"Bu, menurutmu bagaimana. Apa lebih baik Jaya jalankan ini sendiri, atau bergabung dengan tawaran Rio?"
Sang ibu tersenyum, lalu menatap langit sore yang mulai keemasan.
"Ibu nggak bisa menentukan, tapi Ibu tahu kadang yang terlihat aman belum tentu membawa kita dalam kedamaian. Dan yang terlihat penuh resiko, belum tentu tidak memberi kebahagiaan."
Jaya mengangguk perlahan, di benaknya kata-kata wanita yang paling dicintainya itu berputar seperti jarum kompas. Ia mulai menimbang lebih dalam, bukan hanya dari segi modal, resiko atau kegagalan tapi tentang jati diri. Apa yang sebenarnya ia cari dalam hidup ini.
Ia menulis pada buku catatan, coretan yang hanya Jaya sendiri tahu arahnya akan ke mana.
'Apakah aku ingin punya bisnis sukses? Ya. Tapi lebih daripada itu, aku ingin menjadikan bisnis ini cermin atas nilai-nilai yang kupercayai. Kejujuran, kedekatan dan ketulusan. Bisa jadi, aku mungkin akan gagal, tapi jika kegagalan itu hadir sebab mengikuti kata hat8 setidaknya aku gagal sebagai diriku sendiri.'
Suatu malam, Jaya kembali bertemu dengan Rio, duduk di kedai kopi yang ramai dan mengobrol sesantai dulu.
"Aku sudah pikirkan tawaranmu, Rio. Dan aku benar-benar menghargainya, tapi aku rasa untuk sekarang... aku ingin mencoba dulu sendiri," ucap Jaya pelan tapu mantap.
Rio terdiam sebentar, lalu mengangguk. "Aku sudah menduga kamu akan mengatakan seperti itu."
"Kenapa?" tanya Jaya, sedikit terkejut.
"Kamu selalu seperti itu sejak jaman sekolah, nggak suka jalan pintas dan sesuatu yang instan. Bahkan jika itu lebih mudah, kamu suka luka yang bisa kau pahami daripada suka yang bukan berasal dari diri sendiri."
Mereka tertawa kecil, tak ada kemarahan di wajah Rio setelah mendengar keputisan Jaya. Mereka pun berjabat tangan, denhan pelan Rio berujar. "Kalau suatu saat kamu butuh bantuanku, kamu tahu ke mana harus datang, 'kan."
***
Enam bulan berlalu, 'A Whises Cafe' akhirnya buka dan berjalan dengan baik. Tidak megah, tidak pula viral tapu setiap yang datanh pasti paham rasanya. Hangat. Setiap sudutnya didekorasi dengan kutipan sastra dan cerita pelanggan. Jaya menyambut sendiri para tamu, menyeduhkan kopi dan sesekali duduk untuk mendengar cerita mereka.
Rio pun tidak luput datang, duduk di pojok sembari memperhatikan sekitar.
"Tempat ini kamu banget, Jay," ujarnya seraya tersenyum.
"Iya, mungkin nggak akan sebesar bisnismu, tapi ini rasanya... penuh."
Rio mengangguk. "Kamu memilih jalan yang nggak banyak orang berani ambil tapi justru itu yang buat kamu beda."
Setahun kemudian, A Wishes Cafe mulai dikenal dan ratingnya naik perlahan. Bukan karena promosi besar-besaran, tapi cerita yang menyebar dari mulut satu ke yang lain. Jaya membuka satu cabang baru, tetap berkonsep sederhana tapi terlihat tulus. Ia kadang masih ragu, ada takut tapi ia sendiri tahu bahwa keberanian bukan berarti tak punya rada takut, tapi memilih tetap melangkah meski ragu.
Dan di dinding Coffe Shop itu, tergantung sebuah kutipan yang menjadi semacam kompas bagi Jaya dan juga pengunjungnya.
'Bukan keberhasilan yang membuat kita hidup lebih bermakna, tapi keberanian untuk memilih jalan yang paling sesuai dengan hati adalah kunci utama.'
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI