Kebijakan fiskal syariah menawarkan alternatif yang lebih adil dan berbasis nilai. Berbeda dari pendekatan konvensional, fiskal syariah tidak hanya mengejar efisiensi, tapi juga keadilan sosial dan pemerataan.
Dua pilar utamanya adalah:
Zakat — sebagai mekanisme redistribusi kekayaan dari yang mampu kepada yang membutuhkan. Dalam situasi darurat seperti pandemi, zakat bisa digunakan untuk membantu pekerja informal, dhuafa, hingga UMKM terdampak.
Wakaf — terutama wakaf produktif dan wakaf uang, yang berpotensi menopang sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur sosial secara berkelanjutan.
Sayangnya, hingga saat ini, zakat dan wakaf belum sepenuhnya terintegrasi dalam kebijakan fiskal nasional seperti APBN. Ini adalah peluang besar yang belum dimaksimalkan.
Pelajaran dari Pandemi: Integrasi Nilai dalam Sistem Ekonomi
Krisis COVID-19 menyadarkan kita bahwa negara butuh sistem fiskal yang bukan hanya responsif, tapi juga berjiwa. Pendekatan syariah menawarkan keunggulan moral dan sosial yang relevan dalam masa-masa sulit.
Zakat dan wakaf seharusnya tidak hanya menjadi tanggung jawab pribadi, tetapi juga bagian dari strategi nasional. Dengan kolaborasi antara pemerintah, BAZNAS, lembaga keuangan syariah, dan masyarakat, kita bisa menciptakan sistem fiskal yang lebih inklusif dan kuat menghadapi krisis.
Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Krisis Ini?
Krisis pandemi COVID-19 mengajarkan kita bahwa ekonomi bukan sekadar soal grafik pertumbuhan atau defisit anggaran. Ekonomi adalah tentang keberpihakan, tentang bagaimana negara hadir untuk rakyatnya.
Ekonomi Islam melalui zakat dan wakaf membuktikan bahwa solusi keuangan juga bisa bersifat spiritual, sosial, dan manusiawi. Ketika sistem konvensional tertekan, nilai-nilai keadilan dan gotong royong justru mampu menopang ketahanan masyarakat.