Oleh Siska Anugrah Pratama, Arnita Oktavia Ramadhani, Alpani Rahmat, dan Ikhwan Abror
Mahasiswa Program Studi Ekonomi Islam, Universitas Jambi.
Pandemi dan Guncangan Ekonomi Nasional
Pandemi COVID-19 adalah krisis multidimensi yang mengguncang perekonomian Indonesia secara drastis. Tak hanya sektor kesehatan, namun rumah tangga, pelaku usaha, hingga penerimaan negara ikut terdampak parah.
Pada awal 2020, berbagai lembaga publik dan swasta menerapkan sistem kerja dari rumah (WFH). Aktivitas usaha melambat, daya beli menurun, dan angka pengangguran melonjak. Sektor pariwisata anjlok, pajak menurun, dan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia sempat terjun bebas hingga -5,32% pada kuartal II 2020.
Memasuki tahun 2025, ekonomi Indonesia mulai pulih meski masih menghadapi tekanan global. Pada triwulan I, pertumbuhan hanya mencapai 4,87% (yoy)—terendah dalam tiga tahun terakhir. Lemahnya permintaan dalam negeri dan konflik dagang global menjadi penyebab utama. Sebagai respon, pemerintah menyiapkan paket stimulus ekonomi pada Juni 2025, dengan target pertumbuhan 5% di kuartal berikutnya. Stimulus ini mencakup diskon listrik, bantuan pangan, transfer tunai, dan subsidi transportasi bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Langkah Pemerintah Melalui Kebijakan Fiskal
Pemerintah bergerak cepat dengan menerbitkan Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2020 untuk merealokasi anggaran dan mendorong pemulihan. Strategi fiskal berupa:
- Insentif pajak untuk pelaku usaha
- Bantuan langsung tunai
- Subsidi energi dan transportasi
- Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Di tahun 2022, Indonesia berhasil mencatatkan pertumbuhan ekonomi 5,44% (yoy) pada kuartal kedua, menunjukkan keberhasilan awal dari upaya pemulihan.
Namun, di tengah pencapaian angka tersebut, muncul pertanyaan: apakah pemulihan ini benar-benar menyentuh kelompok paling rentan?
Saatnya Fiskal Syariah Berperan Lebih Besar