"Program ini mengklaim ingin menanamkan "sopan santun". Tapi apakah sopan santun sama dengan kepatuhan buta? Banyak koruptor, politisi, dan penjahat berdasi yang sangat sopan saat mencuri uang rakyat".
"Di sisi lain, tokoh seperti B.J. Habibie atau Ki Hajar Dewantara justru dikenal sebagai pemikir kritis yang kerap "melawan" arus untuk perubahan. Jadi, apa sebenarnya yang ingin kita capai: manusia sopan atau manusia berintegritas?"Â
Kebijakan kontroversial Gubernur Dedi Mulyadi menjadi sorotan karena mengirim 272 siswa "nakal" masuk barak militer.Â
Angka ini, menurut Kepala DP3AKB Jabar Siska Gerfianti, berasal dari 106 sekolah---negeri dan swasta---dengan klaim bahwa program ini bertujuan membentuk karakter.
Tapi benarkah barak militer adalah tempat terapi bagi anak bermasalah? Atau ini sekadar cara cepat untuk menyingkirkan "sampah sosial" yang tak terselesaikan oleh sistem pendidikan dan keluarga?Â
Pertama, mari kita sepakati bahwa anak nakal bukanlah monster. Mereka adalah produk dari lingkungan yang mungkin gagal memberinya kasih sayang, perhatian, atau teladan.
Tapi ketika respons negara terhadap kenakalan remaja adalah "membuang" mereka ke barak militer, alih-alih menyelami akar masalah, kita seperti memakai obat penghilang rasa sakit untuk kanker. Gejala mungkin mereda, tapi penyakitnya tetap menggerogoti.Â
Istilah "militerisasi anak" merujuk pada penerapan nilai-nilai dan metode militer---seperti disiplin ketat, hierarki komando, dan latihan fisik keras---pada anak-anak dalam konteks pendidikan.
Proklamator program ini mungkin melihatnya sebagai reformasi, sebuah terobosan untuk membentuk karakter disiplin.
Namun, di sisi lain, banyak yang menilai ini sebagai regresi, langkah mundur ke zaman ketika kekerasan dianggap solusi, sementara psikologi anak dan hak-haknya diabaikan.Â
Pertanyaannya: Apakah ini kemajuan atau justru pengulangan kesalahan masa lalu yang sudah usang?Â
Dandim 0606 Kota Bogor, Letkol Inf. Dwi Agung, bilang kriteria "nakal" masih perlu diperjelas.Â