Pernahkah Anda memandang sebatang pohon di musim gugur? Daun-daunnya menguning, berguguran, meninggalkan dahan yang tampak "tandus". Tapi di balik itu, alam sedang menyiapkan energi baru.Â
Akar pohon itu tak berhenti bekerja; ia menyimpan cadangan kehidupan untuk musim semi berikutnya. Dalam filosofi Taichi, akhir sebuah gerakan adalah awal gerakan baru---seperti lingkaran yang terus berputar tanpa henti.Â
Lalu, mengapa kita kerap memandang menopause sebagai akhir, padahal ia bisa menjadi pintu menuju babak baru yang justru lebih berwarna?Â
Apa yang terlintas di benak Anda saat mendengar kata "menopause"? Mungkin bayangan keriput, emosi tak stabil, atau "tanda-tanda perempuan mulai uzur".Â
Stereotip ini menggantung seperti awan kelam, seolah menopause adalah kutukan yang harus ditakuti. Padahal, menopause---seperti pubertas---adalah fase alami.Â
Menurut National Institute on Aging, menopause dinyatakan resmi ketika seorang perempuan tak lagi menstruasi selama 12 bulan berturut-turut. Ini bukan penyakit, melainkan proses biologis yang dialami perempuan umumnya di usia 45--55 tahun.Â
Namun, ada juga yang mengalaminya lebih awal, seperti Adelle Martin, perempuan asal Inggris yang merasakan gejala menopause di usia 39 tahun.Â
Adelle, yang kini berusia 51 tahun, bercerita dengan blak-blakan: "Saya harus menempelkan koyo hormon di pinggul dua kali seminggu. Bayangkan, setiap keluar rumah di hari Rabu dan Minggu, saya seperti tentara yang bersiap perang: rambut ditata, masker wajah dipakai, dan koyo esterogen jadi 'senjata' andalan."Â
Saat gejala menopause menyerang, Adelle merasa dirinya "terbakar" dari dalam. Hot flashes-nya bukan sekadar keringat biasa, melainkan sensasi panas yang mendidih hingga ke dada, seolah tubuhnya dicolokkan setrika.Â
"Suatu hari, saya bahkan merasakan sengatan listrik di kaki---gejala ke-34 dari daftar yang saya baca. Lucu, ya? Tapi saat itu, saya justru ingin menangis," ujarnya sambil tertawa getir.Â
Pengalaman Adelle adalah gambaran nyata: menopause bukan sekadar urusan berhentinya menstruasi. Ini fase di mana tubuh dan jiwa bergulat dengan perubahan drastis.Â
Kabut otak membuatnya sulit fokus saat rapat, perubahan suasana hati yang tiba-tiba mengusik hubungan dengan rekan kerja, dan kepercayaan dirinya runtuh saat berkaca: "Saya tak mengenali diri sendiri."Â
Tapi di balik kisah pilu itu, Adelle justru menemukan kekuatan baru. Setelah menjalani terapi hormon (HRT) dan menerima kondisinya, ia kini aktif menjadi penyuluh bagi perempuan lain yang mengalami hal serupa. "Saya tak mau ada yang merasa sendirian seperti dulu," katanya.Â
Musim gugur dalam tubuh perempuan menopause memang terasa seperti badai. Gejala fisiknya beragam: keringat malam yang membasuh piyama, kulit yang tiba-tiba sekering daun musim kemarau, atau berat badan yang naik meski porsi makan tak berubah.Â
Tapi seperti pohon yang tak pernah sama dalam melepas daun, pengalaman setiap perempuan pun unik. Ada yang hanya merasakan gejala ringan, sementara sebagian lain---seperti Adelle---harus berjuang melawan gelombang panas dan emosi yang fluktuatif.Â
Namun, musim gugur juga membawa kebebasan. Coba bayangkan: tak perlu lagi repot membawa pembalut darurat di tas, tak ada lagi kram perut mengganggu saat meeting penting, atau kebahagiaan spontan saat bisa pakai celana putih tanpa khawatir "kecelakaan".Â
Seorang kawan bercanda, "Menopause itu hadiah terakhir dari menstruasi---seperti dapat piala 'sudah cukup menderita'." Humor gelap ini, meski sederhana, mengingatkan kita: di balik ketidaknyamanan, ada ruang untuk bernapas lega.Â
Lalu, bagaimana dengan perubahan emosional? Mood swing menopause sering dijadikan bahan lelucon---"hati-hati sama ibu-ibu menopause!"---seolah ini aib yang harus disembunyikan.Â
Tapi coba tanya pada mereka yang mengalami: di balik emosi yang naik-turun, ada pertanyaan eksistensial yang menggedor. "Apakah saya masih berarti?" "Apa peran saya sekarang?". Inilah fase ketika perempuan tak hanya berurusan dengan hormon, tapi juga dengan identitas yang sedang bertransformasi.Â
Lantas, bagaimana menyambut musim gugur ini dengan tangan terbuka? Kuncinya ada pada penerimaan dan adaptasi.Â
Pertama, edukasi adalah senjata utama. Buku, webinar, atau konsultasi ke dokter bisa menjadi panduan. Dr. Sheila de Liz, penulis "Woman on Fire", menekankan: "Menopause bukan kegagalan tubuh. Ini evolusi."Â
Kedua, rawat tubuh dengan pola makan kaya kalsium dan vitamin D---plus olahraga ringan seperti yoga atau jalan pagi. Tak perlu muluk-muluk; 30 menit sehari sudah cukup untuk menjaga tulang dan hati tetap kuat.Â
Tapi yang paling penting adalah mindset. Alih-alih berkata "Aduh, saya tua," coba ganti dengan "Tubuhku sedang belajar bahasa baru." Fase ini bisa jadi momen untuk mengeksplorasi hal-hal yang dulu tertunda.Â
Seperti Ibu Tina, tetangga saya yang memulai kursus melukis di usia 50 tahun. "Dulu sibuk ngurus anak dan kantor. Sekarang, saya justru punya waktu untuk jadi diri sendiri," katanya.Â
Transformasi tak akan lengkap tanpa dukungan lingkungan. Suami yang tak lagi heran saat istrinya tiba-tiba menangis karena iklan tissue, anak-anak yang belajar membuatkan teh hangat saat ibu mengeluh kedinginan, atau teman-teman yang saling mengirim meme lucu tentang hot flashes---semua ini adalah oase di tengah gurun.Â
Tapi, dukungan juga berarti menghindari kalimat-kalimat yang menusuk. "Dulu kan kamu nggak segampang ini marah," atau "Sudah tua, ya, biasa lah," hanya akan menambah luka. Sebaliknya, kata-kata seperti "Apa yang bisa saya bantu?" atau "Kamu tetap cantik kok," bisa menjadi mantra penyemangat.Â
Komunitas juga punya peran vital. Di era media sosial, grup WhatsApp atau forum online menjadi tempat berbagi cerita tanpa dihakimi.Â
Seperti kata Devina, anggota komunitas "Menopause Warriors": "Di sini, kami bebas curhat tentang vagina kering atau suami yang gagal paham. Tak ada yang judged, karena kami sama-sama sedang belajar."Â
Pada akhirnya, menopause adalah cermin dari siklus kehidupan itu sendiri: ada musim semi yang penuh kejutan, musim panas yang membara, musim gugur yang terasa berat, dan musim dingin yang mengajarkan ketenangan. Tapi ingatlah: setelah musim gugur, selalu ada musim semi.Â
Jadi, bagaimana cara Anda menyambut musim gugur ini? Apakah dengan takut, atau justru dengan tarian riang---seperti daun yang jatuh sambil berputar-putar, menikmati setiap detik sebelum menyentuh tanah? Mari kita diskusikan di kolom komentar.Â
Seperti kata pepatah Tiongkok kuno, "Daun yang jatuh tak pernah berhenti mencintai pohonnya; ia hanya mengubah cara merawat." Menopause pun demikian: bukan akhir, melainkan cara tubuh mengatakan, "Sekarang, waktunya tumbuh dengan cara berbeda."Â
Kalau dipikir-pikir, musim gugur itu selalu lebih indah saat kita berhenti mengutuknya karena daun yang berguguran, lalu mulai memandangnya sebagai lukisan alam yang sedang berganti palet. Kan?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI