"Habis Gelap Terbitlah Terang." Kalimat legendaris yang menggema di hati R.A. Kartini yang lahir pada 21 April 1879, ketika ia menolak dibelenggu kebodohan dan ketertutupan pikiran demi memperjuangkan hak perempuan memperoleh pendidikan.
Kini, 146 tahun berselang, kita tidak lagi berhadapan dengan dinding feodalisme atau aturan adat yang mengekang akses baca-tulis.
Namun di balik gawai yang kita genggam setiap saat, terselip kegelapan baru: brain rot, atau pembusukan pikiran akibat banjir informasi dangkal yang menumpuk di media sosial.
Bayangkan seorang remaja yang semangat membaca buku fiksi pagi hari, lalu menjelang siang tenggelam dalam deretan video TikTok berdurasi 15 detik---tantangan menari, prank tanpa makna, hingga teori konspirasi setengah matang. Ia pun kehilangan kesabaran saat berhadapan dengan buku pelajaran sepuluh halaman.
Kebiasaan itu bukan sekadar fenomena psikologis; Dr. Nicholas Carr dalam The Shallows menegaskan bahwa stimulasi instan lewat scrolling media sosial mengubah struktur otak kita: jalur saraf untuk analisis kritis kian memudar, digantikan jalur cepat untuk memindai berita setengah jadi.
Data State of Mobile 2024 mencatat masyarakat Indonesia menghabiskan rata-rata 5,7 jam per hari di media sosial. Lima jam lebih lamanya dibandingkan rata-rata global---andai waktu itu dipergunakan untuk membaca buku atau mendiskusikan gagasan mendalam, mungkin kualitas berpikir kolektif kita akan jauh berbeda.
Di sisi lain, meski industri kreator konten Indonesia bernilai Rp 4--7 triliun pada 2022 menurut laporan Famous Allstars, hanya 6,84 persen dari total populasi yang memiliki kompetensi literasi digital memadai, sebagaimana dipaparkan Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Banyak yang terjebak dalam monetisasi buta --- memproduksi konten prank, misinformasi, atau tantangan berbahaya demi views. Artinya, hampir 93 persen masyarakat kita rentan terjebak hoaks, propaganda, dan konten dangkal yang sekadar mengejar engagement.
R.A. Kartini menuliskan surat-surat penuh urgensi kepada sahabat-sahabatnya di Belanda, menuntut kesetaraan akses pengetahuan bagi perempuan Tanah Jawa. Pena legamnya menjadi saksi perlawanan terhadap ketertutupan pikiran masa itu.
Mirip dengan zaman Kartini, di mana perempuan dijauhkan dari akses pengetahuan. Bedanya, sekarang kita menjauhkan diri sendiri dari pengetahuan yang mendalam, terlena oleh instant gratification.