"Lebaran: Lebar, Lebur, Luber, dan Labur"Â
Lebaran bukan sekadar perayaan kemenangan setelah sebulan berpuasa. Ia adalah mozaik filosofi hidup yang terangkum dalam empat kata: lebar, lebur, luber, dan labur.
Tradisi turun-temurun yang mengiringinya bukanlah ritual kosong, melainkan cerminan dari nilai-nilai luhur yang membentuk identitas kolektif. Pagi hari usai salat Idulfitri, keluarga berkumpul dalam keheningan yang sarat makna.
Anak-anak bersimpuh di hadapan orang tua, istri menunduk hormat kepada suami, dan setiap anggota saling mengulurkan tangan memohon maaf.
Gerak tubuh ini bukan sekadar formalitas, melainkan bahasa universal yang mengajarkan kerendahan hati. Sungkem, sebagai simbol penghormatan, menjadi pintu pembuka bagi hati yang lebar.Â
Rangkaian silaturahmi pun berlanjut. Keluarga yunior mendatangi rumah senior, lalu bersama-sama bergerak menuju keluarga yang lebih tua, hingga berkumpul di kediaman tetua tertinggi.
Dalam lingkaran ini, semua duduk sejajar, tanpa sekat usia atau status. Tradisi ini bukan sekadar kunjungan, melainkan proses regenerasi nilai. Setiap langkah menapaki rumah sanak saudara adalah pengingat bahwa manusia tak hidup dalam kesendirian.
Di sini, lebaran menjadi ruang di mana ikatan darah dan sejarah menyatu, diwariskan dari generasi ke generasi melalui cerita, tawa, dan hidangan khas seperti ketupat dan opor ayam yang telah menjadi saksi bisu perjalanan waktu.Â
Makna lebar dalam Lebaran mengajak manusia melampaui batas sudut pandangnya. Ia adalah undangan untuk melihat dunia dengan kaca mata ketuhanan.
Saat seseorang memahami bahwa "la ilaha illallah" berarti tiada yang hakiki kecuali Allah, ia tak lagi terjebak dalam klaim kebenaran sempit.