Misalnya, ketika tetangga berbeda keyakinan tak mengucapkan selamat, bukan serta-merta kita menghakiminya. Mungkin ia sedang berduka, atau belum memahami tradisi. Di sini, lebar menjadi antidot bagi prasangka.
Seperti kisah Pak Ahmad yang tetap mengantarkan rendang ke keluarga non-Muslim di sebelah rumah, karena baginya, berbagi kebahagiaan tak mengenal batas agama.Â
Lebur adalah tahap berikutnya: meleburkan kebencian menjadi kasih. Pada momen ini, dendam tak lagi mendapat panggung.
Seorang anak yang bertahun-tahun tak berbicara dengan orang tua karena konflik memilih membuka pintu maaf.
Di desa-desa, masyarakat dari beragam suku berkumpul di balai bersama, saling menyuapi ketupat sebagai simbol persaudaraan.
Bahkan di kota metropolitan, karyawan yang selama setahun bersaing sengit di kantor duduk bersama, menertawakan kesalahpahaman masa lalu.
Proses peleburan ini bukan menghapus jejak luka, melainkan mengubahnya menjadi pupuk bagi pertumbuhan hubungan yang lebih sehat.Â
Ketika hati telah lebar dan kebencian telah lebur, berkah pun luber melimpah. Konsep ini terwujud dalam tradisi bagi-bagi hagala (angpau)Â kepada anak yatim, atau pengusaha yang menyisihkan sebagian rezeki untuk membiayai pendidikan tetangganya.
Di pelosok Nusantara, luberan berkah juga terlihat dari gotong royong membersihkan makam leluhur, di mana semua warga---kaya-miskin, tua-muda---bekerja bahu-membahu.
Seperti telaga yang meluap, kebaikan yang tulus akan mengairi setiap sudut kehidupan. Seorang nenek di Jawa Tengah bercerita: "Dulu kami hanya makan lontong sayur sederhana, tapi karena semua warga menyumbang beras, meja kami penuh hidangan."Â
Puncaknya adalah labur: transformasi menjadi manusia baru. Ramadan melatih disiplin, puasa mengasah empati, dan Lebaran menjadi titik tolak untuk mempertahankannya.