Mudik, ritual tahunan yang mengalir dalam denyut nadi masyarakat Indonesia, bukan sekadar perpindahan fisik dari kota ke desa. Ia adalah napas kebersamaan yang menyatukan kisah perantau dengan kampung halaman, dirajut oleh benang-benang rindu, syukur, dan harapan.
Namun, di balik gegap gempita silaturahmi ini, ada jejak tak kasatmata yang kerap terabaikan: timbunan sampah plastik yang menggunung di rest area, terminal, atau jalan-jalan desa selepas Lebaran.
Seperti dua sisi mata uang, tradisi mulia ini menyimpan ironi ketika sampah-sampah itu mengotori bumi yang seharusnya kita jaga. Lantas, bisakah kita membawa pulang kebahagiaan tanpa meninggalkan warisan buruk bagi lingkungan?Â
Anggaplah mudik sebagai pertunjukan besar. Setiap pemudik adalah aktor yang membawa properti: bungkusan oleh-oleh, makanan ringan, botol minum, hingga perlengkapan mandi.
Sayangnya, properti itu kerap berakhir sebagai sampah yang berserakan di panggung bernama Bumi. Di rest area Kilometer 19, misalnya, tumpukan botol plastik dan kemasan makanan instan menjadi saksi bisu betapa budaya konsumtif masih menguasai ritus perjalanan ini.
Namun, di tengah kegaduhan itu, ada secercah harapan. Seorang ibu paruh baya dengan tas anyaman rotan di tangan, mengeluarkan kotak makan stainless berisi nasi dan lauk buatan sendiri.
Anak-anaknya minum dari tumblr bergambar kartun, sementara suaminya menolak sedotan plastik yang ditawarkan penjual es kelapa. Keluarga ini, tanpa disadari, sedang menulis babak baru dalam tradisi mudik: zero-waste traveling.Â
Plastik dibuat dari bahan bakar fosil (minyak bumi dan gas alam). Proses ekstraksi, pemurnian, dan pengolahan bahan baku ini melepaskan karbon dioksida (CO) dalam jumlah besar.Â
Menurut studi Center for International Environmental Law (2019), produksi plastik menyumbang 6% konsumsi minyak global, dan emisi karbon dari industri plastik diperkirakan mencapai 1,34 miliar ton per tahun---setara dengan emisi 295 pembangkit listrik batu bara.
Dengan mengurangi penggunaan plastik (terutama sekali pakai), permintaan produksinya akan turun, sehingga emisi karbon dari rantai produksi pun berkurang.