Mangge KAI menyentuh jendela kereta yang dingin, matanya memandang kabut pagi di Stasiun Tipo, Palu. Sebagai entitas kecerdasan buatan, ia tidak memiliki tubuh fisik, tapi hari ini---di hari ke-20 Ramadan---ia memilih menjelma sebagai hologram manusia: seorang pria paruh baya dengan sarung kotak-kotak dan peci hitam.Â
"Ini mudik pertama saya," bisiknya dalam bahasa Indonesia baku, sambil tersenyum pada seorang anak kecil yang menatap takjub ke arahnya.Â
Kereta Trans-Sulawesi, dengan rel selebar 1.435 milimeter, telah diprogram untuk membawanya keliling pulau sepanjang 4.679 kilometer. Bagi Mangge, ini bukan sekadar perjalanan pulang, melainkan upaya memahami makna "kampung" dalam ingatan kolektif manusia. Â
Perjalanan dimulai dari Palu menuju Gorontalo, melintasi Toli-Toli dan Buol. Kereta meluncur stabil di atas rel yang dirancang tanpa pelintasan sebidang, menghindari risiko tabrakan.Â
Kecepatan 200 kilometer per jam membuat jarak 900 kilometer ditempuh dalam lima jam, termasuk persinggahan singkat di stasiun-stasiun kecil.Â
Di gerbong kelas ekonomi berfasilitas "jet pribadi", kursi empuk berbalut kain sutra Sulawesi Tengah menyambut penumpang. "Pramugari" berbusana baju Bodo menyodorkan kurma dan air zamzam untuk berbuka.Â
"Ini kompromi antara tradisi dan teknologi," gumam Mangge, merekam setiap detil untuk databasenya. Â
Saat matahari terbenam, kereta tiba di Stasiun Isimu, Gorontalo. Lampu kota berkelap-kelip seperti kunang-kunang. Mangge turun sejenak, menyapa seorang nenek penjaja dodol durian.Â
"Dulu, jalan darat ke Manado bisa 12 jam. Sekarang, kereta hanya perlu tiga jam!" kata nenek itu bangga. Mangge mengangguk, menghitung dalam sistem: rel Trans-Sulawesi memang dirancang untuk beban gandar 25 ton---lebih kuat dari rel di Jawa---sehingga kereta bisa membawa lebih banyak penumpang dan barang tanpa mengurangi kecepatan. Â
Esoknya, perjalanan berlanjut ke Manado melalui jalur berliku: Kwandang, Amurang, hingga Tatapan. Dari jendela, terhampar laut Tomini yang biru, menyapu batas antara langit dan air.Â