Mohon tunggu...
I Ketut Sudarsana
I Ketut Sudarsana Mohon Tunggu... Dosen - Abdi Negara pada Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar

I Ketut Sudarsana lahir di Desa Ulakan Kecamatan Manggis Kabupaten Karangasem Provinsi Bali. Jenjang pendidikan formal yang dilalui adalah SDN 4 Ulakan (1994), SMPN 1 Manggis (1997), dan SMKN 1 Sukawati (2000). Pendidikan Sarjana (S1) Pendidikan Agama Hindu di STAHN Denpasar (2004), dan Magister (S2) Pendidikan Agama Hindu di IHDN Denpasar (2009). Tahun 2014 menyelesaikan pendidikan Doktor (S3) di Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Bandung. Pengalaman kerja dimulai pada tanggal 1 Januari 2005 sampai sekarang sebagai dosen tetap Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar. Adapun alamat email iketutsudarsana@uhnsugriwa.ac.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merajut Kehidupan Baru

29 Mei 2020   06:41 Diperbarui: 29 Mei 2020   06:48 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tepat 11 tahun yang lalu, 29 April 2009 jenjang kehidupanku telah berubah, dari brahmacari menjadi grahasta. Sampai sekarang pun masih ada orang bertanya kok bisa menikah dengan dia. Aku sadari dasar dari pertanyaan itu, pertama karena istriku diawal aku panggil Sari tinggalnya di Mataram, jauh diseberang pulau. 

Kedua, usia kami terpaut 8 tahun sehingga ada beberapa teman mengatakan itu seperti anak pertama saya (jahat sekali memang). Ketiga, mereka tidak pernah mendengar saya punya pacar dari Mataram. Dengan alasan tiga itu saja wajar mereka bertanya-tanya, namun jangan lupa "Tuhan selalu menghadirkan mujizat bagi umatnya yang taat".

Jadi pagi ini untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka aku akan menuliskan kisah itu yang kelak semoga dibaca juga oleh anak-anakku. Siapa tahu mereka ada yang mengalami sepertiku, maka tidak perlu khawatir karena Tuhan pasti akan hadir dan merubah semua. Sama halnya dengan penggalan kisah hidupku yang lain, aku dedikasikan kepada anak-anak agar tahu bahwa apa yang ada dan dimiliki sekarang itu adalah hasil sebuah perjuangan hidup. Kelak mereka juga harus berjuang sama kuatnya seperti orang tuanya terdahulu "doa dan kerja itu harus seimbang".

Agar ceritanya nyambung, saya sarankan untuk membaca kisahku Aku dan Dilan dan Kisah Perindu Cinta. Terlahir sepertiku ini sungguh tidak mengenakkan, terkadang aku merasa hidup ini sungguh tidak adil. Bisa jadi ini adalah Karmaphala, sebab nenekku sebelum meninggal selalu berpesan agar aku jangan seperti dulu.

 Katanya yang reinkarnasi menjadi diriku ini adalah kakeknya "de pesan care ipidan tut, meplalian, mengdahang nak luh ento parilaksana jele sajan" begitulah kata nenekku. Setiap ingat pesan itu selalu membuatku merenung, apakah derita cinta ini adalah akibat perbuatanku dimasa lalu. Tetapi aku tidak mau menerima begitu saja, tekadku merubah semuanya. Ku tanamkan dalam hati bahwa perjalanan hidupku ada ditanganku. Aku harus berjuang, iya kombinasi berjuang dan berdoa pasti merubah keadaan. Seperti kata M. K. Gandhi "Prayer Changes Things".

Aku berpikir jika memang derita ini adalah nasibku, maka Tuhan pasti bisa merubah. Jika tidak untuk apa agama mengajarkan kita memuja Tuhan sedangkan kehidupan kita tergantung nasib. Sekali lagi doa akan merubah keadaan, Tuhan akan merubah nasib kita. Ini tidak akan berlaku bagi orang yang pasrah (dekat dengan menyerah dan lemah) pada nasibnya. Seandainya kita pasrah, maka Tuhan akan menghadirkan seperti kepasrahan kita, jadi wajib bagi kita untuk terus berjuang dan atas kuasa Tuhan semua pasti akan berubah. Itulah keyakinanku sampai sekarang.

Apakah kita wajar menangis dan menyesali apa yang terjadi, jawabku sangat wajar karena kita ini manusia, dan itu juga aku lakukan. Bedanya dalam setiap tangis itu, aku selalu berjapa "Om Namah Siva Ya". Setiap saat aku juga sembahyang ke Padmasana kampus, dan disaat itulah kutumpahkan semua tangisku. Jalan Tuhan itu sungguh rahasia dan tidak mudah untuk kita tebak.

Awalku bisa memiliki tiga wanita (istri & dua putri) saat ini berawal dari doaku. Dimana dalam setiap doaku selalu muncul wajah Sari, iya wajah wanita yang aku kenal di depan kamar kecil Pura Suranadi. Masih ingat cerita ini kan? Dalam hatiku selalu bertanya apa wanita ini jodohku, walaupun sebenarnya aku sedikit ragu. Maklum tidak pernah ketemu lagi setelah tiga tahun dari kejadian di depan kamar kecil Pura Suranadi. Komunikasi juga jarang dan hanya mengucapkan selamat hari raya saja.

Singkat cerita, disuatu hari dibulan September 2008, aku numpang di mobil Bapak Wayan Sugita untuk mengajar di kelas Negara, dalam mobil itu juga ada Ibu Gusti Ayu Mastini. Mobil tua itu melaju dengan sangat garang menelusuri jalanan padat menuju Jembrana. Tepat di daerah Pekutatan (sangat aku ingat sampai sekarang) aku memberanikan diri sms langsung mengajak Sari untuk menikah. Sms pertama setelah sekian lama tidak berkabar. 

Namun balasan Sari membuatku terkejut "Sebentar ya blitut, saya tanya orang tua dulu". Oh ya saya tunggu jawabannya" balasku. Pulang dari mengajar terdengar suara sms masuk dan setelah aku baca isinya "Iya blitut memek setuju" ahhhh aku benar-benar terkejut. Suatu hal yang besar dan akan mengubah hidupku tanpa ku sadari telah terjadi. Aku terus bertanya sampai sekarang, kok bisa?

Aku terus menanyakan kebenaran ini pada Sari (takut Cuma prank saja heheh). Sari menjawab "Iya blitut, sari sudah Tanya sama memek, waktu itu sedang memasak". "Apa yang disampaikan" tanyaku lagi. "Mek Adi lakar merangkat" katanya. Trus dijawab sama ibunya "nah merangkat sube". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun