Mohon tunggu...
Ika Sunarmi
Ika Sunarmi Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Penulis

Ketika sebuah karya selesai ditulis, maka pengarang tak mati. Ia baru saja memperpanjang umurnya lagi. (Helvy Tiana Rosa)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Salahkah Jika Saya Menyerah?

16 Oktober 2021   09:24 Diperbarui: 16 Oktober 2021   09:35 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ternyata, dia memang tidak berubah, semakin banyak tugas yang tidak dikerjakan hingga nyaris tidak naik kelas. Dia juga semakin sulit dihubungi. Setiap kali saya berusaha telpon tidak pernah dijawab. Namun, dengan berbagai pertimbangan dan perjanjian orang tua bahwa dia akan memperbaiki cara belajar, dia naik ke kelas sembilan.

Berada di kelas sembilan tidak membawa perubahan apa-apa. Sebelum kegiatan pembelajaran awal tahun resmi dimulai, saya sudah membuat kelompok belajar untuk kelas saya dengan harapan mereka dapat saling mengingatkan teman-temannya dalam menyelesaikan tugas. Baru seminggu pertama, tidak satu pun tugasnya dikerjakan. Saat itu, saya sedang karantina mandiri, saya telpon dia, namun dia menjawab saya dengan nada tidak sopan. Meskipun sakit hati dan rasanya ingin menyerah untuk mengurus anak ini, saya masih tetap berusaha.

Minggu keempat bulan Agus sudah mulai Pembelajaran Tatap Muka Terbatas. Sebuah momen yang sangat dinantikan baik oleh guru, peserta didik, maupun orang tua. Hari pertama masih ada beberapa anak yang tidak masuk, termasuk anak ini. Saya hubungi satu per satu, anak-anak yang tidak masuk di hari pertama dengan harapan mereka ikut PTMT di hari kedua. Benar saja, hari kedua dia pun masuk sekolah. Namun, pada hari ketiga izin karena sakit. Saat itu, saya memberi izin tetapi tugas pelajaran tetap dikirim melalui google classroom sehingga anak-anak yang tidak mengikuti PTMT tetap dapat mengerjakan tugas dan mendapat materi.

Hingga berminggu-minggu kemudian dia tidak masuk sekolah. Dihubungi tidak merespon, beberapa kali saya meminta ibunya untuk datang ke sekolah namun pesan saya tidak pernah disampaikan. Saya tidak bisa mendatangi rumahnya karena tidak tahu alamat terbarunya sejak pindah kontrakan. Satu-satunya cara adalah saya mencari adiknya yang bersekolah di sd, namun masalahnya saya tidak tahu nama adiknya, tidak tahu adiknya kelas berapa. Hanya pernah bertemu saat berkunjung ke rumahnya. 

Pada hari kedua PTS, saya bertemu adiknya tanpa sengaja. Dari adiknya inilah akhirnya, saya tahu alamatnya. Saya bersama kepala sekolah mengantar adiknya pulang. Sesampainya di rumah kontrakan mereka, anak ini sedang tidak di rumah. Dia bermain ke tempat tetangga. Dia pulang setelah dipanggil oleh adiknya. 

Dari obrolan saya dan ibunya, terungkap bahwa saat ini mereka sedang mengalami kesulitan ekonomi. Sudah tidak mampu bayar kontrakan selama dua bulan sehingga mereka diusir dari kontrakan. Namun, anak ini sempat berperilaku tidak sopan terhadap saya dan kepala sekolah. Dia beralasan tidak ke sekolah karena capek jalan kaki. Dia juga mengungkapkan kemarahannya pada kerabat-kerabatnya yang tidak peduli terhadap keadaannya. Saat saya berusaha menenangkan dia inilah dia membentak saya dengan kasar dan kata-kata yang tidak sopan.

Saat itu, hati saya memang sakit tapi saya berusaha tidak marah balik terhadap remaja yang sedang labil itu.

Saat ibunya berusaha menasehatinya dia membentak kemudian beranjak dari tempat duduknya kemudian keluar rumah sambil menendang pintu yang berada tepat di sebelah kiri saya. Saat itu, rasanya sebagai guru dan wali kelasnya saya merasa gagal dalam usaha mendidik dia. Namun saya tidak serta beranjak pulang. Saya tetap berusaha berkomunikasi dan menenangkan ibunya yang menangis atas sikap anaknya tersebut.

Tidak lama kemudian, anak tersebut kembali ke dalam rumah sambil meninju-meninju dinding. Saya berusaha mengabaikan perilakunya tersebut, supaya tidak memperburuk keadaan. Saya juga berusaha menenangkan ibunya kembali agar memberi waktu pada anaknya untuk meluapkan emosinya. Saat itu, perasaan saya justru iba dan turut sedih. Saya memahami kemarahan anak itu.

Setelah beberapa saat dia kembali duduk tanpa kami minta. Saya dan kepala sekolah berpamitan kepada orang ibunya. Saya menitipkan uang transport pada ibunya, supaya anak ini bisa ke sekolah. 

Saya dekati dia, saya sampaikan permintaan maaf kalau kedatangan dan ucapan saya menyinggung perasaannya. Saat itu, dia menangis sambil minta maaf atas perilakunya. Hati saya luluh, harapan saya pada anak ini kembali bersemi. Saya yakin, kejadian hari itu akan membawa perubahan padanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun