Keesokan harinya, dia datang ke sekolah. Saya mendampinginya mengerjakan beberapa tugas. Namun, keesokan harinya dia tidak kembali. Pagi hari sebelum berangkat ke sekolah, saya mengingatkan dia untuk membawa buku pelajaran yang perlu dikerjakan hari itu. Pukul delapan lewat dia belum datang, saya coba kirim pesan ke dia. Hingga siang dia tidak datang, semua pesan saya tidak dijawab.
Keesokan, saya masih berharap dia datang. Tapi dia tidak datang lagi. Saya masih berusaha menghubunginya. Siang harinya saya telepon menggunakan telpon sekolah. Dia jawab telpon saya tapi tidak berbicara. Saya mendengar dia berbisik-bisik, ketika saya bilang bahwa yang menelpon adalah saya, langsung dimatikan. Ketika saya mencoba menghubunginya lagi, panggilan saya dialihkan. Saat itu, saya merasa kecewa. Saya merasa usaha saya tidak membuahkan hasil apa-apa. Setidaknya, kalaupun tidak hadir ke sekolah haruslah ada pemberitahuan. Setelah apa yang saya lewati, kali ini saya merasa menyerah dan tidak sanggup mendidik anak ini.Â
Saya sampaikan hal itu kepada kepala sekolah. Saat itulah, untuk pertama kalinya saya menangis sesenggukan. Saya memohon kepada kepala sekolah supaya anak ini pindah kelas, saya tidak lagi memiliki kemampuan. Hati saya terlanjur hancur. Jadi, demi kesehatan mental saya, salahkah jika saya menyerah?