"Eh maaf." Ia melepas lenganku segera setelah sadar bahwa kami telah berada di luar kendaraan besar yang penuh sesak itu. Wajahnya bersemu merah karena malu.
"Dulu kita satu sekolah kan?" Ia bertanya sambil menyodorkan sebungkus permen karet kepadaku.
Aku menghentikan langkahku lalu menatapnya. Dia balik menatapku dengan ekspresi jenaka.
 "Benar kan? Aku tak akan pernah lupa dengan tatapan itu." Dia membuat lingkaran dengan jari telunjuknya di depan wajahku.  Aku tertegun lalu menelan ludah, mengembalikan permen karetnya setelah aku ambil satu.
Aku masih diam, sibuk mencari sesuatu yang sepertinya telah hilang ketika ia mengulurkan tangannya kepadaku
"Namaku Jojo, kamu Rere kan?" lanjutnya.
Aku tersedak. Dia tahu namaku?
Aku mengangguk, dahiku berkerut.
"Aku tahu nama kamu dari Candra. Aku ingat, dulu kamu selalu duduk di bangku yang menghadap lapangan basket. Aku tak tahu apakah kamu sedang memperhatikan kami yang tengah main basket atau sedang apa. Aku selalu ingin bertanya kepadamu tapi aku tak punya keberanian untuk itu. Kamu bagaikan patung yang terbuat dari asap, nyata tapi susah disentuh." Jojo tergelak.
"Lantas mengapa sekarang kamu berani menyentuh patung asap itu bahkan ketika ia tengah menikmati mimpi-mimpi indahnya?"
"Karena aku harus, kalau tidak kamu bakal menjadi penumpang bis abadi, pulang pergi gak berhenti-berhenti, bisa-bisa sampai bis masuk garasi." Dia tertawa dan kini aku pun ikut terbahak dengannya. Sejak saat itu aku dan Jojo menjadi teman baik, kami sering bertemu di dalam bis, sesekali ia mengunjungi kampusku lalu mengajakku ke toko buku atau berjalan-jalan diantara rimbunnya pohon-pohon akasia di sekitar Alun-alun kota. Kami kerap saling bercerita tentang hari-hari yang telah terlewati. Â Namun di dalam hatiku tak ada lagi yang tersisa dari rasa itu karena perciknya telah hilang ditelan waktu.