Syair-syair pilu telah memenuhi lembar demi lembar diariku. Barisan kata itu menunggu butir-butir keberanianku untuk menyapanya terlebih dahulu. Namun, apa daya kata "Hai" tak jua meluncur dari bibirku walau tatapan kami beradu. Â Rasa malu ku tak sebanding dengan rasa suka ku.
Tiga tahun berlalu begitu saja, meninggalkan jejak-jejak rasa yang semakin hari semakin menipis bagai gumpalan mendung yang telah menumpahkan hujan dengan lebatnya. Aku menyerah karena dia tak tergapai. Aku terlalu sombong untuk menunjukkan rasa suka ku kepadanya, dan dia? Dia terlalu acuh kepada titik debu yang selalu mengorbit di antara lintasan matanya.
Ku tutup diariku dengan sebuah syair elegi tentangnya seiring dengan berakhirnya masa pertemuanku dengannya.
***
"Hai." Sebuah tepukan halus di bahu membuyarkan semua mimpi indah yang baru saja menari-nari dalam tidur nyenyakku.
Aku membuka mata ku perlahan menoleh ke asal suara yang kini berkata lirih.
"Maaf aku terpaksa membangunkanmu, tapi kita sudah sampai di terminal."
Aku terlonjak bukan karena tujuanku terlewati namun karena melihat siapa yang duduk disampingku kini. Rupanya aku terlalu nyenyak untuk diganggu oleh semua suara, penumpang, dan aroma khas yang menguar di dalam bis kota.
Dia tertawa memamerkan barisan giginya yang cemerlang  ketika aku mengerjap-ngerjapkan mataku, diantara kesadaranku yang belum seutuhnya pulih.
"Kamu turun disini kan? Atau mau balik lagi? Ayo turun, penumpang baru sudah mulai naik." Tanpa menunggu jawabanku dia menarik lenganku dan menyeretku diantara para penumpang yang mulai blingsatan mencari bangku.
Dia masih memegangi lenganku sesaat setelah kami turun dari bis. Aku menatapnya tak percaya, sang pemilik syair elegi itu kini ada disampingku. Aku menyentuh dadaku namun tak ada rasa itu. Kemana perginya engkau wahai degub jantung yang tak beraturan?