Mohon tunggu...
Ika Laila
Ika Laila Mohon Tunggu... Administrasi - meramu kisah

Perempuan biasa yang gemar menulis dan bercerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Berujung Kehilangan

17 Oktober 2022   21:13 Diperbarui: 17 Oktober 2022   21:21 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ditengah rintik gerimis sore ini, seorang  gadis berjalan tergesa -- gesa menyusuri setapak. Wajahya terlihat sedikit pucat, entah karena kedinginan atau karena sedang banyak pikiran. Dia berjalan menuduk seolah tak ingin siapapun melihat wajah pucatnya sore itu. Sesampainya di kursi taman, ia duduk lalu melipat kaki, menenggelamkan wajahnya hingga yang terlihat hanya bagian atas jilbab dan punggung yang kembang kempis menahan tangis. Iya terisak tapi tidak terlalu keras. Beberapa detik kemudian, gadis itu menengadahkan wajah, mengeluarkan selembar tissue basah lalu  mengelapnya dengan baik. Setelah bekas tangisnya tersapu bersih dengan tissue basah, ia bangkit dan kembali berjalan. Kali ini dengan ekspresi wajah sedikit lega. Sesampainya didepan sebuah rumah berwarna hijau tosca, tanpa basa -- basi ia membuka pintu lalu membantingnya agak keras. Langkahnya langsung tertuju pada sebuah pintu bertukiskan Liana, lalu masuk menghempaskan tubuh keatas spring bed dan melanjutkan tangis yang sempat tetunda  di taman tadi. Gadis yang ku ceritakan itu adalah aku. Iya, aku mahasiswa baru yang sedang menikmati kuliah semester awal dan kesibukan organisasi lainnya. Karena sering bertemu di beberapa forum, membuatku dekat dengan salah seorang kakak tingkat. Dia satu fakultas denganku, tapi kami beda prodi. Kedekatan kami bermula dari, dari mana ya ?  aku sendiri bingung, yang jelas aku mulai menanggapi pesannya ketika ia menanyakan aplikasi editing yang sering kupakai. Ditambah lagi saat kami satu organisasi yang memang harus saling koordinasi. Setiap hari kami bertemu, makan bareng, jalan kemana -- mana bareng, tidak jarang  nongkrong bareng. Kami semakin dekat bahkan seperti tidak ada sekat ketika ia menjadi ketua di salah satu organ. Bisa dibilang, aku tahu semua hal tentangnya begitupun sebaliknya sampai anak -- anak mengira kami mempunyai hubungan lain diluar organ. Tapi aku menepis, karena memang tidak ada apa -- apa diantara kami selain hubungan baik sebagai sahabat dan partner organ. Karena pada saat itu notabennya dia punya pacar, jadi aku memang tidak pernah terpikir akan ada perasaan lebih antara aku dan dia. Sebagai sahabat, ia sering bertukar cerita tentang hubungannya dengan sang pacar. Saat mereka ada konflik, saat ia merindukan pacaranya karena mereka sudah dua tahun LDR, atau masalah  masalah sepele yang timbul diantara mereka. Aku cukup jadi pendengar yang baik untuknya. Pernah dengar pepatah jawa "witing tresno jalaran soko kulino"? mungkin kalimat itu sedang bekerja  tanpa kami sadari. Beberapa kali ia mengungkapkan rasa nyaman ketika bersamaku, dan selalu kutanggapi bercandaan karena aku tidak ingin jadi pihak ketiga didalam hubungan LDR nya yang sudah diusahakan begitu lama.

Aku pernah marah, kesal sekali pada dia karena terlalu sering mengutarakan perasaanya padaku disamping statusnya sebagai pacar orang. Dari seringnya ia mengatakan itu selalu bisa kutepis dengan respon biasa sebagai seorang teman. Sampai pada suatu hari ketika aku membuka kolom status di akun whattsapku, kulihat storynya tentang pupus hubungan dengan tersayang. Langsung saja ku geser dan jariku mulai mengetik menanyakan ada apa. Tak butuh waktu lama untuknya membalas chat ku berujar bahwa hubungannya dengan sang kekasih telah usai. Dengan rasa yang agak tidak percaya, aku sedikit menghiburnya. Selang beberapa hari setelah patah hati, kami sempat pergi ke pantai tapi lupa untuk urusan apa yang masih terbayang adalah saat ia menanyakan tentang kepastian perasaanku padanya yang lagi -- lagi kubalas dengan gurauan. Tapi aku tahu, ia sedang serius mengungkapkan isi hatinya, hanya saja aku tidak tau bagaimana perasaanku terhadapnya selama ini. Jadi, ku tanggapi saja dengan candaan tanpa bermaksud melukai hatinya. Bulan terus saja mengitari bumi, hari -- hari terus berjalan. Aku sadar benar akan perasaanya padaku yang tercermin dari caranya memperlakukanku, peduli pada semua yang kulakukan, dan selalu ada dalam setiap masalah yang terjadi. Aku diam karena aku juga sedang menanyai hatiku perihal perasaannya pada sosok laki -- laki yang setiap hari ada untuknya. Tapi, semakin aku mencercanya dengan pertanyaan yang sama, semakin tak ku temui jawabnya.

Sampai pada sebuah peristiwa yang pada akhirnya membuatku kehilangan semuanya, termasuk dia. Seusai kuliah saat aku hendak pulang,ia menahanku. "Jangan pulang dulu, ada yang mau aku omongin. Berdua, cari tempat yang gaada orang". Ucapnya pelan. Aku meng iyakan karena kupikir bahas organ atau kegiatan ke depan. Akhirnya aku mengikutinya, kami duduk dan  bicara di tempat yang lumayan jarang ada anak -- anak lewat. "ada apa si kak? Bikin penasaran aja" sergapku sesaat setelah membenarkan posisi duduk. Ia mengambil handphoneku agar fokus mendengarkan ia bicara. Dia memulai pembicaraan dengan sedikit terbata, melanjutkan ucapnya menyatakan perasaanya dan memintaku memilih antara dia, atau seseorang  yang kuakui aku sedang dekat juga dengannya tapi tidak sedekat hubunganku dengan nya. "kamu punya waktu sampai hari sabtu untuk menjawab pertanyaan ini. Aku hanya butuh kepastian, untuk terus atau berhenti". Pungkasnya mengakhiri percakapan sore itu. Aku hanya bisa diam, bingung mau jawab apa.

Dia selalu ada, tapi orang lain yang sedang kuperjuangkan untuk ada. Pertanyaan yang dia berikan ternyata lebih sulit dari soal matematika ekonomi atau manajemen keuangan. Ia dengan pertanyaannya mampu membuatku tidak bisa tidur nyenyak berhari --hari. Ketakutanku yang sebenarnya adalah takut menyakiti hatinya, bagaimana menyusun kalimat sehalus mungkin agar dia tidak terluka. Dengan banyak sekali pertimbangan, banyak alasan, dan banyak hari akhirnya aku memutuskan untuk tidak memilih siapapun. Kita cukup berteman. Tapi aku salah, ternyata keputusan itu membuatku harus kehilangannya, dan menjalani hari lain dari biasanya. Dia mulai menjauh, tidak lagi memenuhi kolom chat whattsapku, tidak lagi menyapa ketika bertemu, bahkan seringkali menghindar jika satu forum. Ya, aku telah kehilangan dia. Kehilangan sosok teman yang biasanya selalu ada, kini harus menghilang dengan sengaja.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun