Di balik nisan yang kini sunyi,
kutangisi setiap kata yang tak sempat terucap.
Ibu, Ayah, maafkan anakmu ini,
yang sibuk mengejar dunia,
hingga lupa surga ada di telapak kakimu.
Kupanggil namamu dalam malam-malam sepi,
namun hanya angin yang menjawab lirih.
Kapan terakhir kali kugenggam tanganmu?
Entah... aku tak ingat,
dan itulah luka yang paling menyayat.
Kau menua tanpa kuperhatikan,
kau sakit tanpa kuperdulikan.
Dan saat tubuhmu dibungkus kafan,
aku hanya bisa menangis...
menangis karena kehadiranku datang terlambat.
Dulu, aku merasa segalanya bisa kutunda,
pelukmu, tatapmu, nasihatmu
kini semua tinggal kenangan yang pahit,
tergurat di setiap sudut rumah yang sunyi.
Ibu, maaf karena tak mengusap punggungmu saat lelah.
Ayah, maaf karena tak mendengar rintih lemahmu di malam gelisah.
Kini doa menjadi satu-satunya jembatan,
tapi tak pernah cukup menggantikan tatapan.
Jika waktu bisa kuputar,
akan kubuang seluruh egoku,
akan kupeluk kalian setiap hari,
akan kukatakan "aku mencintaimu" tanpa malu.
Tapi sekarang...
yang tersisa hanya air mata,
yang jatuh di atas batu nisan,
menggambarkan penyesalan
yang akan kupikul seumur hidupku.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI