Beberapa waktu lalu, publik kembali dikejutkan oleh penyitaan sejumlah buku dari peserta aksi unjuk rasa. Alasannya: buku dianggap bisa dijadikan bukti tindak pidana. Rasanya sulit diterima akal sehat, sebab sejak kapan membaca buku bisa disamakan dengan perbuatan jahat?
Membaca tidak pernah otomatis berarti setuju. Membaca adalah cara manusia memahami dunia, menguji nalar, sekaligus melatih empati. Menyimpulkan bahwa buku bisa menjerumuskan seseorang pada kejahatan, sama kelirunya dengan menyalahkan sendok karena ada yang makan berlebihan.
Justru yang ironis, pembaca di negeri ini sudah sedikit jumlahnya. Tingkat literasi kita masih jauh dari harapan, dan di saat yang sama muncul pandangan bahwa membaca bisa dianggap mencurigakan. Bibit-bibit pembaca saja belum tumbuh dengan subur, bagaimana mungkin kita bermimpi lahir banyak penulis besar dari generasi mendatang?
Lebih berbahaya lagi bila pembaca pemula, anak muda yang baru mulai jatuh cinta pada buku, ikut merasa was-was. Setiap dorongan kecil untuk membaca bisa terganjal rasa takut: takut salah buku, takut dicurigai, takut disalahpahami. Kalau suasana seperti ini dibiarkan, kita sedang menyiapkan generasi yang miskin wawasan.
Apa jadinya manusia yang tak pernah membaca? Ia akan tumbuh dengan cakrawala sempit, mudah digiring, sulit membedakan opini dan fakta. Ia akan pendek pikir, kehilangan kepekaan pada kompleksitas dunia, dan akhirnya tidak punya pendapat yang mandiri. Bayangkan bila mayoritas masyarakat seperti ini, maka demokrasi hanya akan jadi panggung tanpa penonton kritis.
Kekhawatiran terhadap isi buku mestinya dijawab dengan dialog, bukan kecurigaan. Demokrasi tumbuh karena adanya ruang adu gagasan. Kalau setiap halaman bisa dicap berbahaya, maka yang hilang bukan hanya buku itu, tapi juga kesempatan bagi masyarakat untuk belajar berpikir kritis.
Konsekuensinya serius: masyarakat bisa makin enggan menyentuh buku. Padahal kita sedang berjuang mewujudkan masyarakat yang cerdas, terbuka, dan berani bertanya. Membatasi bacaan hanya membuat cita-cita itu makin jauh panggang dari api.
Buku bukan musuh. Ia hanyalah cermin kecil dari luasnya dunia. Membaca seharusnya menjadi perayaan, bukan perkara. Jika ide bisa lahir dari buku, maka seharusnya ide dibalas dengan ide, bukan dengan stigma.
Pada akhirnya, mari kita jaga agar buku tetap berada di tempatnya: sebagai pintu masuk menuju pengetahuan, bukan sebagai barang bukti tindak pidana. Karena sejujurnya, hanya ada satu hal yang lebih menakutkan daripada buku berbahaya: masyarakat yang berhenti membaca sama sekali.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI