Banyak orang mengira jadi admin media sosial pemerintah itu gampang: bikin konten, upload, selesai. Padahal, itu bagian paling ringan. Pekerjaan sebenarnya jauh lebih melelahkan: jadi jembatan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat, alias pemilik kedaulatan.
Setiap hari, puluhan DM dan komentar datang lewat lima platform. Ada yang sopan, ada yang bingung, ada juga yang langsung nyerocos dengan kata-kata yang tak bisa ditempel di papan pengumuman kantor. Semua itu jatuhnya ke meja admin.
Contoh Agustus 2025
Mari kita intip sejenak laporan netizen bulan Agustus 2025 pada akun media sosial pemerintah.
- Seorang warga menulis, "Punten Min, adakah kontak CS Dinas Dikbud?" Pertanyaan sederhana, tapi hingga laporan ditutup tetap belum ada jawaban dari OPD terkait.
- Ada juga yang menawarkan inovasi: "Tindak lanjut surat penawaran sepeda listrik untuk program hijau..." Untungnya, ini langsung dijawab oleh DPUPR.
- Ada yang bertanya dengan sopan: "Assalamualaikum, mohon info syarat izin usaha kecil." Jawabannya? "Tidak ada jawaban."
- Bahkan ada laporan yang dijawab dengan template birokrasi klasik: "Silakan bersurat resmi ditujukan ke kantor kami."
Begitulah realita. Sebagian cepat ditangani, sebagian mati perlahan dalam status "Belum dibalas OPD terkait".
Dilema SP4N Lapor
Sebagai solusi, banyak laporan akhirnya kami teruskan lewat SP4N Lapor---kadang dengan akun pribadi admin. Kenapa begitu? Karena kalau sekadar menyarankan warga untuk melapor sendiri, reaksi mereka biasanya pedas: "Lalu ngapain ada kalian kalau kami juga harus dipingpong?"
Masalahnya, warga lebih nyaman menulis komentar di Instagram daripada mengisi form panjang di aplikasi resmi. Logikanya sederhana: kalau pemerintah serius mau mendengar, sistem seharusnya menyesuaikan kebiasaan warga, bukan memaksa warga beradaptasi pada sistem yang rumit.
Birokrasi vs Netizen
Netizen bergerak cepat, bisa bikin viral dalam hitungan menit. Sementara birokrasi... untuk membalas pertanyaan singkat saja kadang butuh rapat lintas meja. Akibatnya, jurang ekspektasi makin lebar: publik ingin instan, pemerintah memberi janji "akan ditindaklanjuti."
Tentu, ada dinas yang gesit menjawab. Tapi tak sedikit pula yang memilih diam, seolah-olah masalah akan hilang kalau tidak ditanggapi. Padahal, setiap komentar soal jalan rusak atau pelayanan lambat adalah data mentah paling jujur tentang kualitas layanan publik. Sayangnya, data inilah yang sering terbuang begitu saja.
Masih Ada Harapan
Lalu, apakah semua ini tanpa harapan? Tidak juga.
Pertama, kita harus mengakui admin medsos bukan sekadar tukang upload. Mereka garda depan demokrasi digital, dan sudah saatnya diberi mandat lebih: bukan hanya menghubungkan, tapi memastikan jawaban keluar dari dinas teknis.
Kedua, pemerintah perlu "jemput bola". Aparatur tersebar dari provinsi hingga RT. Kalau tiap level aktif memantau, mencatat, dan merespons, publik tidak perlu lagi marah-marah di kolom komentar.
Ketiga, budaya birokrasi harus berubah: dari "menghindar agar tak salah" menjadi "merespons meski belum sempurna." Netizen tidak selalu menuntut jawaban final; seringkali mereka hanya ingin didengar.
Akhirnya,
Jika pemerintah masih gagap di ruang digital, sejarah akan mencatat kita sebagai birokrasi fosil: punya medsos tapi hanya untuk upload foto seremonial. Padahal, yang dibutuhkan warga sederhana: kepastian bahwa suaranya sampai, didengar, dan ditindaklanjuti.
Netizen cerewet bukan tanda benci, tapi tanda peduli. Tugas kita adalah memastikan kepedulian itu tidak berubah menjadi sinisme permanen.
Karena pada akhirnya, suara rakyat bukan gangguan. Ia adalah nyawa demokrasi, yang setiap harinya mampir ke DM dan kolom komentar kita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI