Entah sejak kapan, lini masa media sosial kita berubah jadi arena bebas berteriak.
Netizen, dari yang anonim hingga yang wajahnya terpampang jelas, tak segan melontarkan makian, cacian, bahkan kata-kata kasar yang dulu cuma keluar di gang sempit atau warung kopi. Semua demi membalas unggahan yang dianggap "tidak sesuai" dengan keyakinan, pandangan politik, atau sekadar selera pribadi.
Yang membuat saya heran, bukan hanya "netizen biasa" yang melakukannya.
Banyak influencer---atau mereka yang mengaku selebritas---mengunggah konten yang bagi kacamata Gen X seperti saya jelas tabu, tak senonoh, bahkan tak beradab. Anehnya, sebagian pengikutnya justru mengelu-elukan. Yang lain, sambil istighfar, tetap memberi komentar yang ikut memviralkan.
Fenomena ini lama-lama terlihat normal.
Padahal, di negeri ini, ada jerat hukum yang jelas mengatur batas perilaku di dunia digital. UU ITE, KUHP, dan aturan tentang ujaran kebencian bisa menjerat siapa pun yang merasa "terlalu bebas" di dunia maya. Bahkan, sekadar komentar "nyinyir" atau makian yang tidak mengandung pencemaran pun bisa kena pasal penghinaan ringan (Pasal 315 KUHP lama, atau Pasal 436 KUHP baru mulai berlaku 2026).
Belum lagi cyberbullying---yang oleh para ahli diartikan sebagai bentuk intimidasi atau perundungan digital---bisa membuat pelaku terancam pidana hingga bertahun-tahun. Intinya, kebebasan berekspresi di medsos punya garis batas: ketika sudah menyerang kehormatan dan nama baik orang lain, hukum ikut campur.
Contoh nyata?
Pada 2013, di Sleman, seorang pengguna Twitter menuliskan kata-kata kasar kepada penjaga kos. Isinya dianggap menghina dan merendahkan martabat si penjaga. Korban melapor ke polisi. Hasilnya, sang pemilik akun dinyatakan bersalah dan dihukum 4 bulan penjara serta denda Rp1 juta (subsider 1 bulan kurungan). Itu hanya satu kasus dari banyak perkara serupa yang terjadi---dan membuktikan bahwa "cuma komentar" bisa berujung jeruji besi.
Mengingat dominasi generasi muda dalam demografi kita, muncul pertanyaan getir:
Masih relevankah berharap semua ini berubah?
Mereka lahir dan tumbuh di era di mana like dan komentar pedas jadi mata uang sosial. Ketika "spontan" dianggap jujur, dan "halus" dianggap kepura-puraan. Kalau sehari-hari disuguhi konten vulgar dan komentar kasar, apakah kita masih bisa menuntut kesantunan sebagai standar?
Saya bukan anti kritik, apalagi anti perbedaan pendapat. Tapi ada yang terasa bergeser: kritik kini sering jadi topeng untuk merendahkan. Makian jadi bagian dari lelucon. Perundungan jadi tontonan, bahkan hiburan.
Masalahnya, ekosistem seperti ini tidak hanya membentuk ruang digital, tapi juga membentuk mental kolektif kita. Jika dibiarkan, kita akan terbiasa melukai, lalu menganggap itu wajar.
Dan seperti biasa, yang paling berbahaya bukanlah kebencian yang berteriak keras---tapi kebiasaan diam-diam membiarkannya tumbuh.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI