Guru yang memahami tradisi, tetapi juga melek teknologi, menjadi sosok kunci dalam pendidikan masa depan. Ia bisa mengajarkan makna sabar melalui kisah para wali, sekaligus mengajarkan cara menyaring informasi di internet. Ia tidak membentuk murid dalam satu pola, tapi memerdekakan mereka untuk menemukan potensi dirinya.
Menuju Pendidikan Holistik
Pendidikan yang membentuk jiwa dan membangun nalar bukan mimpi. Ia bisa dirancang secara sadar, dimulai dari kurikulum yang kontekstual, sistem evaluasi yang lebih humanis, hingga pelatihan guru yang holistik. Sekolah bukan sekadar tempat belajar, tetapi ruang pembentukan karakter dan pertumbuhan intelektual.
Kita bisa mencontoh model pendidikan Finlandia yang mengedepankan keseimbangan antara belajar dan kehidupan, atau sistem pendidikan Jepang yang menanamkan tanggung jawab sosial sejak dini. Tapi kita juga punya kekayaan lokal yang luar biasa. Sistem pesantren, misalnya, adalah contoh pendidikan integratif yang membentuk akhlak, spiritualitas, dan daya pikir kritis.
Pendidikan seperti inilah yang bisa menjawab tantangan zaman tanpa tercerabut dari akar budaya dan nilai luhur. Kita tidak perlu memilih antara menjadi modern atau tradisional. Kita bisa menjadi keduanya, dengan cerdas, kritis, dan bermakna.
Pendidikan adalah jalan panjang yang membentuk siapa kita. Ia bukan sekadar soal gelar atau pekerjaan, tetapi tentang bagaimana kita memahami dunia dan diri kita sendiri. Di tengah tuntutan zaman yang kian kompleks, pendidikan yang membentuk jiwa dan membangun nalar adalah kebutuhan mendesak.
Saat tradisi bertemu dengan modernitas, di sanalah lahir manusia utuh---yang berakar kuat pada nilai, tetapi juga terbuka pada zaman. Pendidikan bukan hanya tentang masa depan ekonomi, tetapi masa depan kemanusiaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI