Pendidikan seperti ini tidak hanya menjadikan siswa sebagai objek, tetapi subjek yang berpikir, merasakan, dan bertindak. Mereka mampu berdialog dengan masa lalu sekaligus menjawab tantangan masa depan.
Jiwa: Dimensi yang Terlupakan
Pendidikan jiwa tidak berarti sekadar pelajaran agama atau moral. Ia adalah dimensi batiniah dari pendidikan: bagaimana seseorang memahami makna hidup, tujuan belajar, dan peran dirinya di dunia. Pendidikan jiwa menyentuh aspek kesadaran diri, empati, kesabaran, dan kesetiaan pada nilai.
Filsuf seperti John Dewey dan Paulo Freire telah menggarisbawahi pentingnya dimensi ini. Pendidikan bukan hanya menumbuhkan kemampuan akademik, tetapi kesadaran akan ketimpangan sosial, keadilan, dan kebermaknaan hidup. Di sinilah pendidikan menjadi jalan pembebasan, bukan penjinakan.
Di Indonesia, pendekatan pendidikan spiritual berbasis lokal masih relevan. Misalnya, nilai-nilai keislaman dalam pesantren, ajaran kebijaksanaan dalam budaya Jawa, atau pendidikan karakter berbasis lokal di Bali dan Papua. Semua itu menjadi bagian dari pendidikan yang membentuk manusia seutuhnya, bukan sekadar pekerja.
Nalar: Pilar Kritis untuk Era Disrupsi
Pendidikan nalar menuntut siswa untuk tidak hanya menerima, tetapi mempertanyakan. Untuk tidak hanya meniru, tetapi mencipta. Di sinilah pentingnya logika, filsafat, dan kemampuan berpikir kritis dalam pendidikan. Nalar menjadi pelindung dari hoaks, populisme dangkal, dan manipulasi sosial media yang kini begitu masif.
Sayangnya, pendidikan kita masih lemah dalam hal ini. Kegiatan belajar mengajar masih terlalu berpusat pada guru, terlalu kaku, dan menekankan hafalan. Padahal, siswa yang dilatih bernalar akan lebih siap menghadapi kehidupan. Ia tidak hanya pandai menjawab soal, tetapi mampu menganalisis persoalan hidupnya.
Membangun nalar berarti memberi ruang pada pertanyaan-pertanyaan kritis, membuka diskusi lintas perspektif, dan memfasilitasi pembelajaran berbasis masalah. Pendidikan tidak hanya mencetak pekerja, tapi pencipta makna.
Peran Guru sebagai Penjembatan
Dalam menjembatani antara pembentukan jiwa dan penguatan nalar, guru memainkan peran penting. Guru bukan hanya penyampai informasi, tetapi fasilitator perjalanan intelektual dan spiritual siswa. Ia harus menjadi teladan dalam nilai dan berpikir kritis.