Mohon tunggu...
Iin Indriyani
Iin Indriyani Mohon Tunggu... Novelis - Penikmat Keheningan

Penulis dan Buruh Migran Taiwan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Surat Cinta dari Surga (Bab.2 , Part.1)

2 Desember 2019   15:03 Diperbarui: 2 Desember 2019   15:03 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Segelas kopi pahit sudah tersaji di depan Mbah Okim. Dengan bibir agak gemetaran, lelaki tua itu meniup pelan sebelum menyeruput dengan nikmat. Seketika beliau menoleh ke sebelah kanan. Lalu terdiam beberapa saat. Kedua matanya yang sayu tampak berkaca-kaca, menjelaskan ribuan makna akan kenangan yang hinggap di pikirannya. Kenangan di saat pertama kali beliau melihat cinta di mata Ammar untuk Alea. Beliau masih ingat betul, ketika Ammar keluar dari gang dengan motornya. Di saat yang bersamaan, Alea baru saja pergi dari warung Mbak Mun. Dengan hati berbunga-bunga, Ammar menyusul Alea ke rumahnya. Meninggalkan Mbah Okim dengan segunung kebahagiaan yang tersirat di wajahnya. Betapa tampannya Ammar saat itu. Di mana benih-benih cinta tumbuh subur dalam hatinya. Dan itu adalah tahun yang tak akan terlupa oleh beliau. Di mana orang yang selama ini beliau anggap malaikat telah menemukan bidadarinya.

Mbah Okim masih terdiam. Kenangan itu membuatnya sedih saat menyadari kini Alea telah tiada. Meninggalkan Ammar yang kini sendiri. Tak beliau sadari, kopi pahit yang panas itu kini mulai dingin. Mbak Mun menatap beliau lekat, terheran. Wanita itu melirik sejauh Mbah Okim memandang, namun tak menemukan jawaban apa pun di sana.

"Mbah, ngeliatin apa sih, Mbah?"

"Ammar, Mun."

"Ammar datangnya bukan dari sana Mbah, kan Mbah sendiri yang bilang kalau Ammar tidur sama Mbah semalam. Berarti dia datang dari belakang."

"Bukan itu, tapi saya tiba-tiba saja teringat dengan Neng Alea. Kenapa ya Mun, takdir membuat mereka harus berpisah secepat ini?"

"Namanya sudah takdir Mbah, siapa yang bisa mencegahnya."

"Saya berhutang nyawa pada Ammar. Hati saya sedih melihat Ammar seperti sekarang. Kepedihan sepeninggal Neng Alea belum hilang, sekarang dia kehilangan Neneknya juga. Apa kau tahu Mun, setiap malam jika Ammar menginap di rumah almarhumah Maryam, setiap kali itu juga saya mendengar tangisan yang amat pilu dari kamarnya. Tangisan yang mungkin ia tahan apabila ia menginap di rumah Pak Subhan. Hati saya sakit sekali Mun, benar benar sakit."

Mbak Mun menghela napas. "Coba kalau Neng Alea masih hidup ya, Mbah. Pasti hidup Ammar tidak sepilu sekarang. Saya juga perihatin Mbah, kasihan, iba. Tapi kita bisa apa? Kalau Ammar berniat mencari pengganti Alea, saya yakin Mbah, pasti hari-harinya akan lebih berwarna dari sekarang."

"Siapa yang bisa menggantikan Alea di hati saya, Mbak? Sekalipun ada, saya tidak menginginkannya!"

"Mas Ammar?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun