Mohon tunggu...
Iin Indriyani
Iin Indriyani Mohon Tunggu... Novelis - Penikmat Keheningan

Penulis dan Buruh Migran Taiwan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Surat Cinta dari Surga (Bab.2 , Part.1)

2 Desember 2019   15:03 Diperbarui: 2 Desember 2019   15:03 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Logopit Plus/dokpri

2. UNTAIAN CINTA ROSSIYANA

Pagi cukup cerah. Pepohonan terbangun sejak tadi dari tidur malam mereka. Bunga- bunga kertas di tepi jalan tersenyum mempesona menaburkan keindahan duniawi yang mengagumkan. Kota Venetie Van Java terlihat lebih hidup dengan lalu lalang kendaraan yang saling kebut mengejar waktu. Penjual kaki lima memulai aktivitas mereka mengharap rezeki halal dan barokah yang melimpah ruah agar dapur tetap mengepul. Begitu pun dengan warung yang terletak di depan sekolah di mana Ammar mengajar. Warung itu sudah siap menyambut para pembeli sekedar meneguk kopi atau sarapan.

Wanita pemilik warung itu tampak sibuk mengeringkan gelas-gelas kaca yang semalam ia cuci. Dari kejauhan terlihat Mbah Okim, lelaki tua berbadan bungkuk dan berbibir sumbing berjalan pelan ke arah warung. Sapu ijuk panjang masih melekat di tangan kanan beliau. Sedangkan tangan kiri beliau bergelayut di belakang punggung. Kopyah hitam agak usang masih setia menutupi rambutnya yang memutih. Wajah keriput itu tersenyum kecil melihat kawan mengobrolnya yang sibuk di dalam warung.

"Mun, kopi pahit satu, ya?" gumam Mbah Okim dengan suara mendengung karena bibirnya yang sumbing.

"Mbah, bikin saya kaget saja. Sudah sarapan belum, Mbah? Udah pesan kopi aja pagi pagi begini."

"Alhamdulillah, sudah Mun, tadi saya sarapan roti bakar sisa semalam dari Ammar. Betewe, Ammar belum datang ya, Mun? Saya kok belum melihat dia sejak tadi."

"Aduuuh, Mbah Okim bahasanya bikin kuping saya bergetar, deh. Ketularan siapa sih pakai bahasa begituan? Terus kok Mbah nanya saya, kan Mbah tinggal serumah sama Ammar. Memang semalam dia tidak tidur di rumah?"

"Yaelah Mun, itu kan bahasa anak-anak di sekolah. Saya suka dengar mereka pakai bahasa goal seperti itu."

"Gaul, Mbah. Bukan Goal."

"Iya pokoknya begitulah, Mun."

"Hmmm.."

Segelas kopi pahit sudah tersaji di depan Mbah Okim. Dengan bibir agak gemetaran, lelaki tua itu meniup pelan sebelum menyeruput dengan nikmat. Seketika beliau menoleh ke sebelah kanan. Lalu terdiam beberapa saat. Kedua matanya yang sayu tampak berkaca-kaca, menjelaskan ribuan makna akan kenangan yang hinggap di pikirannya. Kenangan di saat pertama kali beliau melihat cinta di mata Ammar untuk Alea. Beliau masih ingat betul, ketika Ammar keluar dari gang dengan motornya. Di saat yang bersamaan, Alea baru saja pergi dari warung Mbak Mun. Dengan hati berbunga-bunga, Ammar menyusul Alea ke rumahnya. Meninggalkan Mbah Okim dengan segunung kebahagiaan yang tersirat di wajahnya. Betapa tampannya Ammar saat itu. Di mana benih-benih cinta tumbuh subur dalam hatinya. Dan itu adalah tahun yang tak akan terlupa oleh beliau. Di mana orang yang selama ini beliau anggap malaikat telah menemukan bidadarinya.

Mbah Okim masih terdiam. Kenangan itu membuatnya sedih saat menyadari kini Alea telah tiada. Meninggalkan Ammar yang kini sendiri. Tak beliau sadari, kopi pahit yang panas itu kini mulai dingin. Mbak Mun menatap beliau lekat, terheran. Wanita itu melirik sejauh Mbah Okim memandang, namun tak menemukan jawaban apa pun di sana.

"Mbah, ngeliatin apa sih, Mbah?"

"Ammar, Mun."

"Ammar datangnya bukan dari sana Mbah, kan Mbah sendiri yang bilang kalau Ammar tidur sama Mbah semalam. Berarti dia datang dari belakang."

"Bukan itu, tapi saya tiba-tiba saja teringat dengan Neng Alea. Kenapa ya Mun, takdir membuat mereka harus berpisah secepat ini?"

"Namanya sudah takdir Mbah, siapa yang bisa mencegahnya."

"Saya berhutang nyawa pada Ammar. Hati saya sedih melihat Ammar seperti sekarang. Kepedihan sepeninggal Neng Alea belum hilang, sekarang dia kehilangan Neneknya juga. Apa kau tahu Mun, setiap malam jika Ammar menginap di rumah almarhumah Maryam, setiap kali itu juga saya mendengar tangisan yang amat pilu dari kamarnya. Tangisan yang mungkin ia tahan apabila ia menginap di rumah Pak Subhan. Hati saya sakit sekali Mun, benar benar sakit."

Mbak Mun menghela napas. "Coba kalau Neng Alea masih hidup ya, Mbah. Pasti hidup Ammar tidak sepilu sekarang. Saya juga perihatin Mbah, kasihan, iba. Tapi kita bisa apa? Kalau Ammar berniat mencari pengganti Alea, saya yakin Mbah, pasti hari-harinya akan lebih berwarna dari sekarang."

"Siapa yang bisa menggantikan Alea di hati saya, Mbak? Sekalipun ada, saya tidak menginginkannya!"

"Mas Ammar?"

Mbak Mun dan Mbah Okim terkejut dengan kedatangan Ammar dari samping warung. Lelaki tampan berwajah tirus, bersih itu duduk di samping Mbah Okim dan ikut menatap ke depan sejauh mata memandang. Mbah Okim merasa tidak enak hati kepadanya. Sedangkan Mbak Mun menjadi salah tingkah. Ammar sangat paham apa yang baru saja dibicarakan oleh mereka tentangnya. Ekspresinya amat dingin, menampakkan bahwa kenyamanan hatinya terganggu dengan kata-kata terakhir yang Mbak Mun ucapkan.

"Maaf, Mas Ammar. Mbak tidak bermaksud untuk..."

"Tak apa, Mbak. Saya mengerti perasaan kalian sebagai orang yang paling dekat dengan saya. Tapi saya mohon, jangan terbesit dalam pikiran kalian bahwa saya harus mencari pengganti istri saya. Karena itu hal mustahil dan tidak akan pernah saya lakukan."

"Kenapa Ammar? Kau lelaki normal. Kau butuh pendamping hidup untuk meneruskan perjuanganmu sebagai muslimin. Maafkan Mbah jika lancang, tapi kami juga ingin melihatmu bahagia, Ammar." timpal Mbah Okim dengan suara tak jelas di mana hanya Ammar dan Mbak Mun yang benar-benar memahami ucapan beliau.

Ammar termenung cukup lama. Ia teringat saat-saat terakhirnya bersama Alea. Terutama ketika mimpi itu datang dan membawa mereka ke sebuah telaga malam pertama yang begitu indah. Mereguk kecantikan dan kesalehaan istrinya yang luar biasa. Di dalam mimpi itu ia berjanji kepada Alea, bahwa ia tidak akan menikah lagi walau apa pun yang terjadi. Di dalam mimpi itu Alea pun berjanji kepadanya, bahwa ia tidak akan memasuki pintu surga tanpa membawa suami yang sudah mewujudkan impian terakhirnya untuk mendonorkan jantungnya kepada Anida, seorang gadis kristiani yang juga pasien di rumah sakit di mana dirinya dirawat.

Ammar menitikkan airmata. Hatinya terasa sesak kembali. Mbak Mun menoleh prihatin kearahnya, tatapannya lalu pindah ke wajah Mbah Okim. Dalam hitungan menit, Ammar berpamitan pada mereka untuk masuk ke sekolah karna waktu menunjukkan pukul 06.45. Banyak tugas yang harus ia selesaikan. Walau dirundung duka, namun ia selalu bersemangat untuk mengajar. Seberat apa pun beban di hatinya, ia tak pernah menumpahkan masalah pribadi ke dalam pekerjaannya. Hal itu pula yang membuat para guru tak mengetahui akan pernikahan dirinya dengan Alea. Yang mereka tahu, Ammar masih melajang. Dan sifatnya yang tertutup memang karena ia tertutup sejak dulu. Hanya Asyifa, murid sekaligus tetangga Alea yang mengetahui pernikahan tersebut dan masih mengunci mulutnya rapat-rapat.

Bel masuk berbunyi. Ammar berjalan pelan menuju ruang kelas VIII B untuk mengisi jam pelajaran agama Islam. Ia mengucap salam yang langsung dibalas serempak oleh murid- muridnya. Setelahnya ia duduk dengan santai. Semua buku yang ia bawa diletakkannya di atas meja. Tangan kanannya meraih buku absen yang berada di sudut kanan meja tersebut. Kedua matanya tak sengaja menangkap sepucuk surat dengan amplop merah muda yang terselip di sana. Ammar sempat terheran. Lalu, menggelengkan kepalanya. Ia seakan tahu, dari, dan untuk siapa surat itu ditujukan. Ammar tak menggubris sepucuk kertas misterius itu. Ia menyimpannya dalam laci lalu menutupnya pelan-pelan.

"Ekheeem.." Asyifa, yang duduk tepat di depan Ammar menggodanya dengan ceria.

"Kenapa tidak dibaca, Pak Ammar?"

Ammar tersenyum simpul. Namun tak membalas pertanyaan murid terdekatnya itu. Dari belakang Asyifa, seorang murid laki-laki tampak memperhatikan keduanya dengan heran. Dia Aziz, murid humoris dan juga konyol yang menjadi pusat lelucon di kelas itu. Ia menyentuh pundak Asyifa, isyarat akan surat yang barusan Ammar simpan di dalam laci. Namun, gadis remaja bertahi lalat di bawah mata sebelah kiri itu tak merespon pertanyaannya.

"Asy, surat dari siapa sih?"

"Kamu kepo Saya juga perihatin Mbah, kasihan, iba. Tapi kita bisa apa? Kalau Ammar berniat mencari pengganti Alea, saya yakin Mbah, pasti hari-harinya akan lebih berwarna dari sekarang."

"Siapa yang bisa menggantikan Alea di hati saya, Mbak? Sekalipun ada, saya tidak menginginkannya!"

"Mas Ammar?"

Mbak Mun dan Mbah Okim terkejut dengan kedatangan Ammar dari samping warung. Lelaki tampan berwajah tirus, bersih itu duduk di samping Mbah Okim dan ikut menatap ke depan sejauh mata memandang. Mbah Okim merasa tidak enak hati kepadanya. Sedangkan Mbak Mun menjadi salah tingkah. Ammar sangat paham apa yang baru saja dibicarakan oleh mereka tentangnya. Ekspresinya amat dingin, menampakkan bahwa kenyamanan hatinya terganggu dengan kata-kata terakhir yang Mbak Mun ucapkan.

"Maaf, Mas Ammar. Mbak tidak bermaksud untuk..."

"Tak apa, Mbak. Saya mengerti perasaan kalian sebagai orang yang paling dekat dengan saya. Tapi saya mohon, jangan terbesit dalam pikiran kalian bahwa saya harus mencari pengganti istri saya. Karena itu hal mustahil dan tidak akan pernah saya lakukan."

"Kenapa Ammar? Kau lelaki normal. Kau butuh pendamping hidup untuk meneruskan perjuanganmu sebagai muslimin. Maafkan Mbah jika lancang, tapi kami juga ingin melihatmu bahagia, Ammar." timpal Mbah Okim dengan suara tak jelas di mana hanya Ammar dan Mbak Mun yang benar-benar memahami ucapan beliau.

Ammar termenung cukup lama. Ia teringat saat-saat terakhirnya bersama Alea. Terutama ketika mimpi itu datang dan membawa mereka ke sebuah telaga malam pertama yang begitu indah. Mereguk kecantikan dan kesalehaan istrinya yang luar biasa. Di dalam mimpi itu ia berjanji kepada Alea, bahwa ia tidak akan menikah lagi walau apa pun yang terjadi. Di dalam mimpi itu Alea pun berjanji kepadanya, bahwa ia tidak akan memasuki pintu surga tanpa membawa suami yang sudah mewujudkan impian terakhirnya untuk mendonorkan jantungnya kepada Anida, seorang gadis kristiani yang juga pasien di rumah sakit di mana dirinya dirawat.

Ammar menitikkan airmata. Hatinya terasa sesak kembali. Mbak Mun menoleh prihatin kearahnya, tatapannya lalu pindah ke wajah Mbah Okim. Dalam hitungan menit, Ammar berpamitan pada mereka untuk masuk ke sekolah karna waktu menunjukkan pukul 06.45. Banyak tugas yang harus ia selesaikan. Walau dirundung duka, namun ia selalu bersemangat untuk mengajar. Seberat apa pun beban di hatinya, ia tak pernah menumpahkan masalah pribadi ke dalam pekerjaannya. Hal itu pula yang membuat para guru tak mengetahui akan pernikahan dirinya dengan Alea. Yang mereka tahu, Ammar masih melajang. Dan sifatnya yang tertutup memang karena ia tertutup sejak dulu. Hanya Asyifa, murid sekaligus tetangga Alea yang mengetahui pernikahan tersebut dan masih mengunci mulutnya rapat-rapat.

Bel masuk berbunyi. Ammar berjalan pelan menuju ruang kelas VIII B untuk mengisi jam pelajaran agama Islam. Ia mengucap salam yang langsung dibalas serempak oleh murid- muridnya. Setelahnya ia duduk dengan santai. Semua buku yang ia bawa diletakkannya di atas meja. Tangan kanannya meraih buku absen yang berada di sudut kanan meja tersebut. Kedua matanya tak sengaja menangkap sepucuk surat dengan amplop merah muda yang terselip di sana. Ammar sempat terheran. Lalu, menggelengkan kepalanya. Ia seakan tahu, dari, dan untuk siapa surat itu ditujukan. Ammar tak menggubris sepucuk kertas misterius itu. Ia menyimpannya dalam laci lalu menutupnya pelan-pelan.

"Ekheeem.." Asyifa, yang duduk tepat di depan Ammar menggodanya dengan ceria.

"Kenapa tidak dibaca, Pak Ammar?"

Ammar tersenyum simpul. Namun tak membalas pertanyaan murid terdekatnya itu. Dari belakang Asyifa, seorang murid laki-laki tampak memperhatikan keduanya dengan heran. Dia Aziz, murid humoris dan juga konyol yang menjadi pusat lelucon di kelas itu. Ia menyentuh pundak Asyifa, isyarat akan surat yang barusan Ammar simpan di dalam laci. Namun, gadis remaja bertahi lalat di bawah mata sebelah kiri itu tak merespon pertanyaannya.

"Asy, surat dari siapa sih?"

"Kamu kepo terus ah, itu kan bukan urusan kita."

"Tapi kayaknya kamu tahu siapa pengirimnya, Asy."

"Memang aku tahu, emang kenapa?"

"Kasih tau dong!"

"Nggak!"

"Pelit kamu Asy!!" Bocah berambut cepak itu mengusungkan bibirnya.

"Ada apa Aziz? Kenapa kamu berisik sekali?" Ammar menegur.

Semua murid terfokus pada Aziz. Sedangkan bocah itu tak menjawab pertanyaan Ammar. Ia malah melayangkan tatapan sinis kepada Asyifa. Asyifa tersenyum kecil sambil menutup mulut dengan telapak tangannya. Keadaan kelas menjadi tegang. Ammar berusaha mencerna apa yang disembunyikan oleh kedua muridnya itu. Dengan lembut ia mendekat ke meja Aziz. Wajahnya yang teduh langsung tersenyum manis sebelum melontarkan pertanyaan yang sama kepadanya.

"Ada apa Aziz? Kenapa kamu terlihat gelisah sekali sejak tadi? Apa ada yang bisa Bapak bantu?"

"Aku ingin bicara dengan Bapak di jam istirahat nanti. Bisa kan?" jawabnya polos.

"Tentu bisa. Baiklah, sekarang kembalilah seperti sebelumnya. Bapak tidak mau di jam pelajaran Bapak, ada satu murid pun yang terlihat murung. Oh iya anak-anak, jika kalian punya masalah pribadi yang mengusik ketenangan hati kalian. Kalian bisa ceritakan masalah kalian kepada Bapak. Dan kita akan mencari jalan keluar bersama-sama. Bagaimana?"

"Baiiik, Paaaaaak" jawab mereka serempak.

"Ha ha ha, sepertinya saya tahu kenapa Aziz manyun seperti itu Pak Ammar." sela Lukman, murid yang duduk di belakang Aziz.

"Jangan sok tahu kamu, Luk," gertak Aziz tak terima.

"Aku lihat kok tadi kamu penasaran tentang surat yang disimpan Pak Ammar di laci itu. Kamu takut surat itu dari Bu Rossi, kan? Ngaku aja ayoo. Kamu cemburu kan Ziz, hahaha."

"Cemburu?" mendengar itu, Ammar mengernyitkan keningnya. Kedua alisnya spontan bertemu.

"Iya, Pak Ammar. Bapak masih ingat tidak, saat kami duduk di kelas VII. Bapak pernah memberi kami tugas tahunan untuk menulis tentang kejadian mengagumkan yang pernah kami lihat di lingkungan sekitar. Waktu itu kan, Aziz bercerita tentang bidadarinya yang baik hati dan dermawan itu. Dan tak lain bidadari itu adalah Bu Rossi, guru Pkn dan tetangganya sendiri di rumah."

Semua murid menertawakan Aziz dengan renyah. Sementara bocah berambut cepak pirang itu terlihat kesal sekali. Sorotannya tajam kearah Lukman. Sedangkan Ammar tampak tersenyum geli mendengar penjelasan dari Lukman. Ia beranjak kembali ke tempat duduknya. Membuka laci yang sudah ia tutup sebelumnya. Kemudian tangan kanannya memungut sepucuk surat yang memang ia yakini surat itu ditulis oleh Rossi untuknya. Tak lama setelahnya, Ammar kembali mendekati Aziz. Disodorkannya surat tersebut kearah Aziz. Bocah humoris itu menatap heran wajah gurunya.

"Surat ini masih tersegel. Kau lihat, Bapak belum membukanya sedikit pun apalagi membaca isinya. Kalau kamu cemburu kepada Bapak, maka ambil surat ini. Anggap ini adalah milikmu dari Bu Rossi. Maafkan Bapak ya Aziz, karena surat ini sudah membuat hatimu tak nyaman. Apa kamu mau memaafkan Bapak?"

Mendengar ucapan Ammar. Kedua mata Aziz berkaca-kaca. Semua mengira bocah itu cemburu. Termasuk Ammar. Namun kebenarannya hanya ia yang tahu. Apa mungkin diusia seremaja itu ia telah jatuh cinta? Ammar hendak kembali ke depan. Tiba-tiba bocah itu menarik lengannya dengan kuat. Kedua matanya terlihat serius. Ada gumpalan bening di kedua sudutnya.

"Saya tidak cemburu, Pak. Bapak salah, dan kalian semua salah paham. Saya memang mengagumi Bu Rossi karna beliau perempuan yang sangat baik. Tapi bukan berarti saya jatuh cinta. Saya sadar diri, saya masih kecil. Bagaimana mungkin saya jatuh cinta? Saya gelisah karna saya.....?"

To be continue..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun