Mohon tunggu...
ignacio himawan
ignacio himawan Mohon Tunggu... Ilmuwan - ilmu terapan untuk keseharian

Sekedar berbagi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

N250 dalam Kacamata Teknologi Nasional

14 Agustus 2017   07:02 Diperbarui: 2 September 2017   04:12 1951
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : PT IPTN (sekarang PT DI)

Kenyataannya hampir semua pemain disektor ini adalah inisiatif swasta sehingga pemain seperti SAAB 2000/240, Fokker dan DHC sudah lama hengkang karena merugi. Sebagai catatan pesawat terbang seperti Boeing 787 hanya memiliki profit margin sekitar 5%, nilai ini jauh lebih besar daripada profit margin realistik untuk peawat turbo-prop regional. Artinya prdusen turbo=prop regional membutuhkan volume penjualan yang tinggi, namun di dekade  1990-an pangsa pasar turboprop untuk keperluan regional mulai tergerus oleh pesawat terbang bermesin jet. Saat ini sektor ini praktis dikusai oleh ATR 42/72 dengan pemain minor seperti MA60 yang disokong oleh pemerintah Cina. Perlu dicatat bahwa ATR 42/72 sekalipun sudah tidak lagi memproduksi pesawat terbang baru.

Refleksi kebelakang memang sebuah kemewahan. Dengan cara pandang ini, tampak dengan jelas kalau proyek N250 lebih bersifat sebagai demonstrasi teknologi sementara pertimbangan komersial menempati posisi yang lebih rendah. 

Untuk dapat dipasarkan, N250 perlu mendapatkan sertifikasi laik terbang dari lembaga yang diakui hampir diseluruh dunia seperti FAA. Karena sertifikasi mebutuhkam akumulasi jam tes dan terbang biasanya proses ini melibatkan beberapa peswat terbang. Untuk kasus N250, rencana semula adalah 7 buah pesawat proto-type (PA1 hingga PA7) digunakan untuk sertifikasi. 

Sekitar tahun 1992, mulai disadari bahwa PA1 tercata jauh lebih berat daripada rancangan di kertas. Entah ada masukan analisa pasar atau tidak, saat itu disimpulkan kalau daya muat awal 50 penumpang terlalu sedikit artinya kelebihan berat ini dapat diatasi dengan meperbesar volume pesawat (memperkecil berat jenis). Kemudian diputuskan bahwa N250 sebaiknay membawa 64 penumpang dan namanya berubah menjadi N250-100. 

Pesawat baru inilah yang nantinya akan disertifikasi dengan mengunakan PA2 hingga PA7. Tampaknya karena target hadiah 50 tahun kemerdekaan RI sudah dicanangkan jauh hari sebelumnya, maka PA1 yang berkonfigurasi N250 tetap diteruskan, walaupun akan memberi kontribusi minim bagi sertifikasi. Prakis,i PA1 yang dinamai Gatotkaca berfungsi tidak lebih sebagai alat demonstrasi teknologi. Singkatnya tepatlah penamaan hari kebangkitan teknologi nasional di tanggal 10 Agustus 1995.

Tidak lama setelah penerbangan perdana, audit untuk memperoleh sertifikasi FAA dimulai. Saat itu PA2 yang dinamai Krincingwesi hampir selesai dibuat dan proses pembuatan PA3 dan PA4 sudah dimulai (meskipun berada di tahap yang berbeda). Sayangnya audit ini menunjukan perbedaan antara bentuk fisik peswat terbang yang sudah dibuat dengan rancangan diatas kertas. Dengan kata lain terdapat terlalu banyak modifikasi yang tidak dapat dipertanggung jawabkan. Akibatnya PA2 dinyatakan tidak dapat dipakai untuk sertifikasi. Seandainya masih terpakai, jelas PA-2 tidak dapat melaksanakan semua targetyang telah disiapkan ketika PA-1 dicoret. Sementara PA3 dan PA4 hanya bernasib sedikit lebih baik.

Kerika krisis ekonomi melanda Indonesia di tahun 1998, keadaan menjadi sangat buruk. Kandungan nilai teknologi asing tentu saja melonjak cepat sejalalan dengan terjun bebasnya rupiah. Saat itu jelas PA1 dan PA2 yang sudah jadi tidak bisa dipakai untuk sertifikasi. Artinya N250 masih membutuhkan banyak beya untuk menjadi produk yang dapat dijual kepasar. Lebih parah lagi, riset pasar dari kantor yang disiapkan oleh IPTN untuk menjual N250-100 di AS menunjukan bahwa yang dibutuhkan sebenarnya adalah pesawat berkapasitas diatas 70 penumpang untuk bersaing dengan ATR-72. Tidaklah mengherankan apabila N250 kemudian menjadi sasaran empuk penghematan yang dimina oleh IMF sebagai syarat untuk mendapatkan bantuan. Sekedar catatan, N-250 sebenarnya dibunuh dengan instruksi resmi dari Persiden Soeharto.

***

PA1 dan PA2 yang nyaris menjadi korban kemarahan pegawai PT DI yang di phk di awal dekade 2000-an saat ini masih mendekam di kompleks PT DI di Bandara Husein Sastranegara di Bandung. PA3 dan PA4 yang setengah jadi sudah lama dimusnahkan. Kalaupun masih ada tidak lebih dari komponen-komponen yang tercerai berai di Bandung.

Saat ini saga N250 masih terus berlangsung dengan R80 yang pada dasarnya adalah N250 untuk 80-90 penumpang. Saya jadi teringat dengan novel karya Mochtar Lubis, Jalan Tak Ada Ujung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun