Aku tidak menyalahkan sungainya. Tidak. Itu sungai yang hidup. Tapi entah kenapa, setiap selesai menulis, aku merasa seperti sedang menanam benih di ladang yang bukan milikku.
Aku kehilangan rasa itu. Rasa segar seperti pagi di sungai yang jernih. Rasa percaya bahwa kata-kata bisa tumbuh bukan hanya karena dibaca, tapi karena lahir dari tempat yang jujur.
Maka aku kembali ke sungai awal. Yang tenang. Yang tidak populer. Yang bahkan mungkin tak tampak di peta besar dunia tulis menulis. Tapi di sanalah aku merasa tidak kehilangan diri.
Aku belajar, bahwa menjadi penulis idealis bukan tentang membenci keramaian. Tapi tentang menerima bahwa tidak semua perjalanan harus disambut sorak-sorai.
Beberapa perjalanan memang harus ditempuh dalam diam. Seperti sungai yang jernih itu. Yang tak banyak bicara, tapi selalu mengalir. Perlahan, tapi pasti membentuk jalan sendiri di tengah bebatuan.
Hari ini aku masih di sana. Masih menulis di tepi sungai yang tenang. Masih bertanya, masih mencari, tapi tidak lagi gelisah. Karena aku tahu, air yang jernih akan menemukan jalannya sendiri. Dan mereka yang benar-benar haus, akan datang untuk meneguk. Bukan karena ramai. Tapi karena segar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI