Mohon tunggu...
Iqbal Iftikar
Iqbal Iftikar Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Wannabe

Nothing was never anywhere

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mereka yang Terbiasa Tidak Akan Membenci

22 Juli 2019   22:12 Diperbarui: 22 Juli 2019   22:16 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mas Dal sedang duduk menunggu kereta di ujung peron Stasiun Bandung. Peron yang minggu lalu dipenuhi perokok, khususnya pada jam pulang seperti saat ini, kini sudah bersih dari asap rokok. Nun di kejauhan, sekitar 50 meter dari tempat Mas Dal duduk, berdiri plang bertuliskan "Area Merokok". Tepatnya, dekat pintu akses kargo kereta.

Mas Dal sedikit bangga karena merasa pemindahan area merokok tersebut adalah buah keberaniannya melapor ke manajemen PT KAI melalui Twitter. Dalam laporannya, Mas Dal menyertakan foto orang merokok bersandar di kolom atap ujung peron. Di kolom tersebut jelas terpasang rambu larangan merokok. Berbekal foto dan akun Twitter (juga jaringan internet), Mas Dal melapor. Dua hari kemudian, tampat menunggu kereta favorit Mas Dal menjadi area bersih dari asap rokok.

Sedari awal Mas Dal duduk di sana, ia sibuk mengusap layar ponselnya untuk menjelajahi Twitter. Di sampingnya, duduk seorang bapak tua berumur sekitar 50 tahun. Kulitnya sudah agak keriput dan beberapa giginya tanggal.

Awalnya, Mas Dal tidak terlalu memedulikannya. Matanya berfokus pada layar dan telinganya tersumpal earphone. Tapi, saat Mas Dal menoleh ke bapak tua itu, tanpa sengaja mereka melakukan kontak mata. Spontan saja Mas Dal mengangguk hormat. Anggukan tersebut dijawab dengan pertanyaan basa-basi a la penunggu kereta.

"Mau ke mana, dek?" tanya pak tua. Mas Dal melepas earphone dan mematukan ponselnya guna menghormati bapak tua itu.

"Cimekar, pak," jawab Mas Dal yang dilanjutkan dengan rentetan pertanyaan basa-basi lainnya. Beberapa pertanyaan berlalu disambut dengan jawaban satu sama lain.

"Agak sepi yah, pak, sore ini," kata Mas Dal berusaha mencari topik pembicaraan.

"Sebagian ada yang nunggu di sana, dek," kata bapak tua itu sambil menunjuk ke area merokok kemudian bertanya, "Adek ngerokok?"

"Oh, enggak, pak. Keluarga saya gak ada yang ngerokok," jawab Mas Dal. Kalimat kedua sesungguhnya tidak perlu. Mas Dal mengatakannya untuk memperpanjang topik pembicaraan.

"Wah, bagus, dek," jawab pak tua. "Tapi, permisi, dek," lanjutnya dalam bahasa Sunda, "saya mah kurang setuju kalau tempat merokok dipindah ke sana."

Maka tibalah saat itu. Saat di mana Mas Dal tidak setuju dengan perkataan seseorang namun Mas Dal harus bertingkah setuju, setidaknya tidak menolak, pendapat lawan bicara demi menghormatinya. "Mmmh, begitu," jawab Mas Dal. Jawaban diplomatis.

"Punten atuh, dek. Da saya mah perokok, tapi bukan perokok berat," kata pak tua dilanjutkan dengan cerita tentang bagaimana dia merokok. Dia menjelaskan bahwa bahaya rokok terdapat pada puntungnya sehingga ia hanya menghisap rokok kretek atau tembakau linting. Jika tidak ada, dia masih bisa menghisap rokok filter namun hanya tiga hisap. "Dokter-dokter kalau ngerokok yah kayak gitu. Karena mereka tahu bahayanya di mana."

"Ooh," jawab Mas Dal singkat sambil mempertahankan kontak mata. Walau dalam hati ingin sekali berargumen, namun Mas Dal hanya menahan diri.

"Kalau dipermisalkan, paru-paru itu kayak dapur," pak tua membuat permisalan. "Kalau dapurnya udah ngebul, ada asap masuk yang masak gak masalah. Kalau dapurnya gak ada asap, pas ada asap masuk yang masak bakal keganggu. Manusia juga gitu, kalau paru-paru udah penuh asap, bakalan biasa aja sama asap rokok. Tapi kalau kayak adek yang jarang ngisap asap rokok, ya bakalan keganggu."

Suara pengumuman kereta tiba memecah percakapan mereka berdua. Mas Dal pamit kepada pak tua dan segera bersiap menaiki kereta paling belakang. Si pak tua memilih naik kereta yang lebih depan.

Di dalam kereta yang tidak terlalu penuh, Mas Dal mengambil tempat duduk di samping seorang karyawan PT KAI yang sudah selesai bertugas. Tidak ada percakapan selama perjalanan setengah jam menuju stasiun tujuan. Mas Dal sibuk dengan pikirannya sendiri.

Seorang perokok menjadi terbiasa dengan asap rokok sehingga tidak membencinya dan orang yang tidak merokok membenci asap rokok karena tidak terbiasa. Bukankah manusia secara umum juga seperti itu? Seseorang yang terbiasa dengan perbedaan tidak akan membenci orang lain yang berbeda dengan dirinya. Sedangkan orang yang tidak terbiasa dengan perbedaan akan membenci orang lain yang berbeda. Di negara Bhinneka Tunggal Ika ini, setiap orang harusnya sudah terbiasa dengan perbedaan. Namun, kenapa masih banyak yang saling membenci karena berbeda?

Lamunan Mas Dal buyar saat kereta mendekat stasiun tujuan. Mas Dal berjalan kembali ke rumahnya kemudian menuliskan cerita ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun